SIWA – BUDDHA DI BALI

SIWA – BUDDHA DI BALI

Faham dan Sekte

Jambulas, seorang musafir dari Yunani pernah berkunjung ke Bali pada tahun 50 Masehi, dia membuat catatan perjalanan selama tujuh bulan lamanya menetap di pulau Bali. Keindahan dan keramah tamahan penduduknya sangat berkesan di hatinya, tambahan pula ia dapat menghadap raja yang sedang berkuasa, peradaban dan susunan masyarakat sudah teratur baik, penduduk-penduduk berbadan tegap dan sehat, menandakan kesuburan pulau Bali. Sehingga rakyat tidak pernah kelaparan karena kekurangan makanan, kebanyakan bercocok tanam, mengusahakan sawah ladang, mereka tinggal berkampung-kampung, beberapa buah kampung menjadi satu desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.

Mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai berkahyangan di sorga, dewa yang paling dimuliakan adalah Dewa Matahari, banyak juga diantaranya yang memuliakan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, dengan demikian dapat dipastikan faham Hindu sudah berkembang di Bali pada awal tahun 50 Masehi.

Selain dari keterangan Jambulas sebagai tersebut di atas, juga pemakaian tarik Isaka hurup Dewa Nagari dapat membenarkan, bahwa paham Hindu telah berkembang di Bali. Di India tarik Isaka ini diresmikan oleh raja yang bernama Kaniskha sejak tahun 78 sesudah Masehi, kerajaanya bernama Kushana dengan ibu kotanya Purusha Pura yang sekarang bernama Pushawar. Baginda raja memuliakan agama Bhuda. Sedangkan hurup Dewa Nagari adalah diciptakan oleh Aji Saka, seorang pengarang penganut Hindu yang mendirikan sebuah kerajaan di Jawa setelah mengalahkan raja di Jawa yang bernama Dewata Cengker.

Perpaduan Agama Siwa dan Budha Di Bali

Perpindahan empat buah gunung dari india ke Bali, yang melambangkan masuknya paham Catur Lokapala itu terjadi dalam tahun 11 isaka, perhitungan tahun isaka itu, dinyatakan dengan sebutan Candra Sengkala yang berbunyi Rudhira Bhumi. Rudhira dan Bhumi masing-masing berarti angka satu, dengan demikian Rudhira Bhumi berarti angka 11, di terangkan juga dalam kitab Purana itu bahwa Gunung Agung pernah meletus di dalam tahun 13 isaka, dengan sebutan Candra Sangkala Gni Budhara, Gni sama dengan 3, dan Bhudara sama dengan 1, letusan gunung Agung itu menimbulkan gempa bumi yang sangat hebat, disertai dengan hujan lebat tiada hentinya siang dan malam selama dua bulan.

Sesudah itu turunlah dua orang Dewa dan seorang Dewi di Bali. Dewa dan dewi itu ialah: Hyang Putra Jaya, Hyang Gni Jaya, dan Dewi Danuh.

Diantara ketiga Dewa dan dewi itu, Hyang Putra Jayalah yang paling dimuliakan, sebab itulah di sebut pula dengan Maha Dewa, berkahyangan di Puncak Gunung Agung, sebagai Siwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang, dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur di puja sebagai Wisnu.

Adanya ketiga Dewa dan Dewi ini ialah mengesankan bahwa di samping paham Catur Lokapala, paham Tri Murti telah masuk di Bali, paham itu mengajarkan bahwa Tri Murti terdiri dari tiga Dewa, yakni; Brahma sebagai pencipta atau Uttpti, Wisnu sebagai pemelihara atau Stiti, dan Siwa sebagai pelebur atau Pralina.

Pendapat umum di Bali bahwa Siwa itu bukan saja sebagai Dewa pelebur tapi juga sebagai guru besar yang pengasih dan penyayang, sehingga diberikan julukan Bhatara Guru. Juga Siwa telah menyelamatkan Bali dari kehancuran, ketika Beliau memerintahkan dewa-dewa memindahkan sebagian gunung Mahameru dari Yambu dwipa ke Bali. Karenanya Siwalah yang paling dimuliakan oleh penduduk Bali.

Di Besakih terdapat pemujaan bagi dewa-dewa itu yakni: di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Siwa, di Pura Batu Madeg tempat memuja Dewa Wisnu.

Pura Pentaran Agung terletak di tengah-tengah karena di anggap paling terkemuka, disitulah penduduk Bali mengadakan persembahyangan tiap-tiap tahun sekali, yang dinamakan Bhatara Turun Kabeh. Upacara ini jatuh pada Purnamaning sasih ka Dasa yang di sebut juga dengan Wesaka. Perayaan besar diadakan pada tiap 10 tahun sekali yang di sebut Panca Wali Krama dan yang paling besar dilaksanakan tiap-tiap 100 tahun sekali yang disebut upacara Eka Dasa Rudra. Perkataan Rudra ialah pengganti nama Siwa, tatkala berganti wujud sebagai Mahakala. Siwa yang juga berwujud Maha Dewa berkahyangan di gunung Agung.

Karena gunung Agung adalah gunung yang tertinggi di Bali, maka biasa juga di sebut Giri Tolangkir. Giri berarti Gunung, To berarti Orang, dan Langkir berarti menjulang tinggi, perkataan Langkir dalam bahasa Sansekerta berarti Maha Dewa.

Sedangkan Maha Dewa dalam ajaran Budha Mahayana dianggap Lokanatha atau Lokeswara yang lebih terkenal lagi dengan sebutan Awalokiteswara, yang berarti Seorang Budha yang tinggi kedudukanya.

Baik penganut agama Siwa, maupun agama Budha di Bali, sama-sama memuja dan memuliakan gunung Agung, karena Mahadewa baerkayangan disitu dianggapnya Siwa oleh penganut agama Siwa, sedangkan penganut Budha memandang
Maha Dewa itu adalah Budha.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close