PURA LAWANGAN AGUNG

PURA LAWANGAN AGUNG

Sebagian besar umat Hindu pasti mengetahui keberadaan Pura Kahyangan Jagat Besakih. Namun sayangnya sebagian besar umat tidak mengetahui jika Pura Lawangan Agung merupakan bagian dari Pura Besakih. Bahkan eksistensi serta perannya tidak bisa dianggap remeh. Apabila dianalogikan kita masuk ke Istana negara,kita harus minta izin terlebih dahulu kepada penjaga pintu gerbangnya. Walaupun kita misalnya memiliki hubungan yang sangat baik dengan Sang Presiden,tetapi kita harus menghormati penjaga pintu gerbang.

Persembahyangan di Pura Lawangan Agung merupakan wujud etika beragama dari umat Hindu. Bahkan pada peristiwa pengadukan Samudera Mathana (Ksirarnawa) ada disebutkan ‘Mojar Tang Dewata Ri Sang Hyang Samudra ’(Berkatalah para Dewa kepada Hyang Varuna). ‘Tasyasih ta kamung Hyang Sagara Hayua Kita tan dharana ri pangaras ning Dwipa. Yapuan sidha mijil ikang Amrta sangkeng Ksirarnawa mwang mahadi nikang Tri Bhuana. Mwang mahadi byanta wenang maneh suka ring watek Hyang’ (Kasihanilah wahai penguasa Samudera. Janganlah engkau tidak memberikan izin terhadap penyentuhan pulau ini. Jikalau tirta amerta berhasil keluar dari samudera Ksira. Jadi engkaualah yang pantas memberikan kebahagiaan kepada Tri loka dan Para dewa. Walau pada waktu pengadukan Samudera Manthana ada Indra (raja para Dewa),tetapi ketika memasuki wilayah Dewa Lautan jabatan dan kedudukan itu harus ditanggalkan,etikalah yang paling utama. Disana Varuna adalah penjaga pintu gerbang lautan,Raja Surgapun tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Sedangkan ketika kita memasuki areal Kawasan Suci Pura Besakih,Bhatara Sakti Lawangan Agung merupakan penjaga pintu gerbang niskala di wilayah itu. Sebagai seorang insan agamais yang tahu tata susila seharusnya meminta restu terlebih dahulu kepada Beliau sebelum bersembahyang ke Pura Besakih. Setiap dilaksanakan Upacara di Pura Besakih harus mengadakan piuning terlebih dahulu ke Pura Lawangan Agung,ini merupakan wujud Pasanakan yang erat antara Pura Besakih dengan Pura Lawangan Agung.
Ketidaktahuan umat akan keberadaan Pura Lawangan Agung ini juga dikarenakan kurangnya informasi

Pura Lawangan Agung ini unsur-unsur mistis yang begitu kental. Misalnya saja disebutkan tentang kegaiban-kegaiban yang terjadi di sekitar Pura Lawangan Agung seperti musibah yang menimpa sekha kesenian barong yang pentas tanpa izin di areal Pura Lawangan Agung,suara kulkul ajaib menjelang Gunung Agung Meletus tahun 1963 atau tahun 1965,suara kori ajaib,suara kulkul berbunyi depang dan tulung,dsb.

Kata Lawangan sendiri berasal dari kata lawang yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pintu gerbang. Menurut kamus Bali-Indonesia kata lawang diartikan sebagai pintu atau kartu ceki yang sama. Sedangkan kata lawangan berarti pintu. Dalam perkembangannya di Bali ada istilah ngelawang yang berarti mempertunjukkan tari barong dari rumah ke rumah ataupun dari desa ke desa (dari pintu ke pintu ‘door to door).Sedangkan Kata Agung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti besar,luhur,dan mulia
Pura lawangan agung merupakan tempat suci tergolong ke dalam pura umum,pura jagat,atau kahyangan jagat karena keberadaannya berkaitan dengan Pura Penataran Agung Besakih dan mesti dipuja oleh semua umat Hindu,sebagai tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Secara lebih spesifik Pura Lawangan Agung merupakan pintu gerbang untuk masuk ke dalam kawasan suci yang besar,luhur,dan mulia (sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa),di Bali kompleks pura terbesar terletak di Pura Besakih ‘The Mother of Temple’.

Menurut I Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa menyatakan bahwa berdirinya Pura Lawangan Agung ini diperkirakan sejalan dengan pendirian pura kahyangan jagat Besakih. Apabila dilihat dari aspek angka tahun menurut I Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa Pura Lawangan Agung berdiri pada tahun Saka 835 (913 Masehi).
Gusti Mangku Kubayan Manik menyimpulkan tahun pendirian pura ini karena berpatokan pada beberapa sumber yang menyangkut berdirinya Pura Besakih. Diantaranya dalam buku yang berjudul Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I Bali menjelaskan bahwa yang diperkirakan sebagai pendiri Pura Besakih adalah Resi Markandeya. Beliau datang ke Bali pada abad VIII dengan menanam Panca Datu di lereng Gunung Agung..

Berdirinya Pura Besakih pada tahun Caka 835 (913M) yang juga diperkirakan sebagai tahun berdirinya Pura Lawangan Agung merupakan periode pemerintahan seorang raja Bali bernama Sri Kesari Warmadewa atau Sri Wira Dalem Kesari. Dimana pada waktu itu Raja mengeluarkan kebijakan untuk membangun sebuah tempat pemujaan di Besakih dan kini tempat pemujaan ini dikenal dengan nama Merajan Selonding (Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I Bali,1987:7). Dalem Sri Kesari Warmadewa adalah pendiri Dinasti Warmadewa di Bali

Struktur Palinggih pura Lawangan Agung terdiri dari :

A. Balai Kulkul
Kulkul yang ada di Pura Lawangan Agung berjumlah dua (lanang-istri). Kulkul di Pura Lawangan Agung merupakan Kulkuk Dewa ketika dibunyikan pada saat upacara Dewa Yajna,Kulkuk Bhuta ketika dibunyikan pada saat pelaksanaan pecaruan,dan kulkul manusa ketika dibunyikan untuk mengumpulkan para pengempon pura. Tidak seperti lazimnya bale kulkul yang ada di Bali,atap bale kulkul yang ada di pura Lawangan Agung bertumpang atau tingkat dua. Ini merupakan salah satu keunikan Pura Lawangan Agung.
Kulkul ini juga diyakini sebagai sthana Sang Hyang Jati Iswara. Sang Hyang Iswara berkedudukan sebagai pelindung arah timur arah terbitnya matahari. Dewa sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Sang Hyang Iswara bertujuan untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup (jyotir). Jati Swara dikatakan pula sebagai suara yang sejati yakni Dharma atau kebenaran itu sendiri. Dharma diidentikkan dengan sinar yang menerangi dunia.

B. Gedong Linggih Sang Hyang Pasupati
Dari berbagai babad yang ditemui di Bali Sang Hyang Pasupati disebutkan menurunkan Sapta Hyang untuk berstana di berbagai gunung di Bali. Demikianlah Sang Hyang Pasupati menurunkan tujuh orang suci yang dipuja di berbagai Kahyangan Jagat di Bali. Sapta Hyang itu adalah Hyang Putra Jaya dipuja di Pura Besakih. Hyang Dewi Danu dipuja di Pura Batur. Hyang Tugu dipuja Andakasa, Hyang Tumuwuh di Batukaru, Hyang Gumawang di Beratan dan Hyang Manik Corong di Pejeng.
Dari Sapta Hyang inilah terus menurunkan orang-orang suci. Keturunan selanjutnya ada yang disebut Panca Pandita atau sering disebut juga Panca Tirtha yaitu lima orang suci. Panca Pandita tersebut adalah lima orang suci yang bersaudara. Lima orang suci itu adalah Mpu Geni Jaya, Mpu Sumeru, Mpu Gana, Mpu Beradah dan Mpu Kuturan.
Mpu Geni Jaya salah seorang dari Panca Tirtha ini sebagai leluhurnya atau disebut Wangsa Karta dari Parasemeton Pasek Sanak Sapta Resi di Bali. Wangsa Karta adalah sebagai tokoh yang diyakini sebagai pembentuk Gotra dari suatu kelompok keluarga atau klan. Mpu Beradah adalah leluhur Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra.
Wangsa Brahmana Siwa di Bali meyakini Dang Hyang Dwijendra inilah sebagai Wangsa Karta atau pembentuk Gotranya. Demikianlah berbagai kelompok keluarga di Bali meyakini para Resilah sebagai Wangsa Karta atau pembentuk Gotra. Sistem Wangsa atau Gotra ini bukanlah membeda-bedakan harkat dan martabat manusia sebagai sistem Kasta. Tetapi untuk menegakkan pemujaan dan penghormatan pada leluhur.
Hyang Pasupati juga merupakan penyelamat Nusa Bali dari kehancuran, karenanya Sang Hyang Pasupati juga dipuja di Pura Lawangan Agung sebagai juru selamat Pulau Bali dan pencipta

C. Rong Tiga Linggih Hyang Pramesti Guru
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan men jadi ngawur.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan:Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya di Bali ada perayaan Pagerwesi untuk memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

D. Balai Gong
Balai Gong merupakan bangunan yang befungsi sebagai tempat menabuh gamelan (gong) pada pura-pura di Bali. Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Indonesia telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni: (1). wayang, (2). gamelan, (3). ilmu irama sanjak, (4). batik, (5). pengerjaan logam, (6). sistem mata uang sendiri, (7). ilmu teknologi pelayaran, (8). astronomi, (9). pertanian sawah, (10). birokrasi pemerintahan yang teratur.

E. Candi Pamedal
Candi Pamedal merupakan dua buah candi yang berfungsi sebagai Pintu gerbang untuk masuk ke Pura. Filosofinya ini merupakan perbatasan antara pemikiran manusia yang masih terikat oleh objek-objek inderawi dengan pemikiran-pemikiran yang diinsyafi ajaran-ajaran Ketuhanan. Umat ketika memasuki pamedal harus mengarahkan pikirannya kepada Tuhan dan meninggalkan nafsu-nafsu badaniah di luar areal pura.

F. Apit Lawang Linggih Bhuta Panandiswara
Bhuta Panandiswara atau Lembu Nandini merupakan abdi bagi Sanghyang Manikmaya (Shiwa). Dan tak seorangpun diperkenankan mengendarai Lembu Nandini selain Sanghyang Manikmaya. Kemanapun Sanghyang Manaikmaya pergi memerlukan kendaraan, maka Lembu Nandinilah yang menjadi wahana beliau. Bahkan begitu suci dan sakralnya kendaraan Sanghyang Manikmaya ini, pada saat Prabu Pandu Dewanata menuruti rengekan istrinya, Dewi Madrim yang ingin berkeliling melihat negeri Hastinapura dari angkasa, maka imbalan yang harus ditebus oleh Prabu Pandudewanata karena ingin meminjam Lembu Nandini ini, adalah nyawanya. Maka setelah selesai berkeliling dengan Dewi Madrim mengendarai Lembu Nandini, Prabu Pandudewanatapun meninggal. Hal itu karena Prabu Pandu dewanata telah dinilai lancang, dimana seorang ksatria di arcapada, telah lancang meminjam kendaraan dewa.

G. Palinggih Pamangkalan Agung
Palinggih Pamangkalan Agung ini disebutkan sebagai Sthana Ida Bhatara Lingsir Dasar Bhuana,yakni yang berperan sebagai dasar/pangkalnya dunia. Dunia beseta isinya hanya akan mencapai kedamaian dan kemakmuran apabila memiliki dasar yang kuat. Maka umat Hindu tidak hanya berpikir parsial dari segi permukaan dunia saja. Para Orang-orang suci pada masa lampau telah memikirkan bahwa dasar alam semesta merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan,dasar dunia harus dikutakan dengan menghaturkan persembahan kepada Ista Dewata yang bersthana disana.

H. Sanggar Agung
Sanggar Agung ini disebutkan sebagai palinggih Ida Sang Hyang Widhi atau Hyang Tunggal. Dalam idiom masyarakat Bali sering disebut ‘ane abesik negebekin gumi’. Jadi Hyang Tunggal merupakan perwujudan Tuhan yang satu tetapi meresapi setiap ciptaan. Merupakan wujud Tuhan yang Transcendent,dalam dunia sains dijelaskan dengan teori fisika kuantum. Yakni dalam suatu benda dinyatakan ada energy tertentu tetapi sangat sulit untuk dibuktikan keberadaannya.

J. Pelinggih Dasar
Pelinggih Dasar ini merupakan Sthana Hyang Prthivi dan Bhatara Rambut Sedana. Hyang Prthivi merupakan perwujudan kesuburan yakni kesuburan jasmani maupun rohani. Prthivi juga adalah simbolisasi tanah air,memuja Prthivi dalam kehidupan bernegara dilakukan dengan mencintai dan mengabdikan diri kepada tanah air. Pelinggih Prthivi di Pura Lawangan Agung ini setidaknya menyiratkan beberapa maksud diantaranya adalah permohonan para pengempon pura agar diberi kesuburan karena dahulu sebagian besar berprofesi sebagai petani,selain itu juga merupakan wujud kecintaan kepada tanah airnya.
Hyang Rambut Sedana adalah permaisuri Maha Wisnu dan karena pernikahan ini ia juga disebut sebagai Maha Lakshmi dan Ratu Satyug. Dia juga menikah dengan Sri Rama dalam inkarnasi sebagai Sita dan Krisna sebagai Rukmini dan Radha. Beliaui juga digambarkan sebagai Devi dalam bentuk yang universal,sebagai pembunuh Mahishasura Iblis. Secara ikonografis Beliau digambarkan sebagai serangkaian delapan belas bantalan bersenjata manik-manik, kapak perang, labirin, panah, petir, teratai, air panci, gada, tombak, busur, pedang, perisai, bel, Keong, anggur cangkir, jerat, trisula dan Sudarsana. Dalam bentuk ini Hyang ramnut Sedana disebut sebagai Dasa Ashta Bhuja Mahalakshmi. Dia adalah perwujudan dari energi yang unggul feminin Tuhan yang memurnikan spiritual, memberdayakan dan uplifts individu. Dia juga personifikasi dari energi spiritual dalam diri kita dan alam semesta yang disebut Kundalini.
Sebutan lain beliau adalah Lakshmi yang berarti dewi kekayaan / keberuntungan kecantikan, baik dan keberuntungan.

K. Gedong Linggih Bhatara Sakti Lawangan Agung

Bhatara Sakti Lawangan Agung diyakini sebagai Dewa Penguasa Pintu Gerbang niskala untuk memasuki kawasan suci Pura Besakih. Seyogianya umat yang hendak sembahyang ke Pura Besakih meminta restu dan berkat kepada Bhatara Sakti Lawangan Agung. Tradisi seperti ini merupakan budaya yang umum di Bali,seperti halnya pada Puri Klungkung juga ada keyakinan kepada Bhatara Pamedal Agung yang bersthana pada Gelung (pintu gerbang Puri). Atau pada masing-masing rumah,pada bagian pintu gerbang dipercaya terdapat Dewa Penjaga yang menjaga penghuni rumah dari mara bahaya.

L. Anglurah

Anglurah merupakan Linggih Sang Catur Sanak atau Kanda Pat. Kanda pat atau sang catur sanak mempunyai tugas menjaga dan menuntun umat manusia sesuai dengan maksud dan tujuan manusia itu sendiri. Kanda Pat telah ada pada manusia sejak dalam kandungan dan berwujud: (1). Babu abera,(2). Babu sugian,(3). Babu lembana,(4). Babu kekered, (5). Yang terakhir adalah bayi itui sendiri yg bernama I Lega Prana. Setelah sembilan bulan dalam kandungan sang ibu maka lahirlah bayi itu ke dunia ( bhuana agung ) diikuti oleh sang catur sanak yakni Yeh nyom, Getih, Banah (lamas), Ari-ari. Sejak saat itu berubah pulalah nama kanda pat sejeroning garba menjadi kanda pat rare. Namanya pun berubah : (1) I Jelahir,(2). I selabir,(3). I Mekahir,(4). I Selahir,(5). Yg kelima bayi itu sendiri yg sekarang bernama ITutur Menget.

M. Padma Capah
Padma capah merupakan bentuk Padmasana yang tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan) atau Hyang Brahma sebagai pencipta alam semesta. Dalam Lontar “Dwijendra Tattwa” disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, Beliau datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali. Diperkirakan pelinggih Padma Capah ini baru dibangun di Pura Lawangan Agung setelah kedatangan Dang Hyang Nirartha sebagai bentuk pengembangan pelinggih.

N. Pasamuhan
Bale Pasamuhan, secara fisik adalah sebuah bangunan bale-bale berpilar enam yang berada di pojok dalam pura. Menurut Ida Pedanda Istri Karang Upacara di bale pasamuan adalah simbol cinta kasih para dewa yang turun dalam berbagai wujud fisiknya.
Menurut I Ketut Wiana, Bale Pasamuhan menunjukkan hubungan manusia dan Tuhan. Ini simbol kewajiban manusia untuk berhubungan harmonis dan setara. Misalnya simbol Ardhanarisvara (bentuk hermaprodit dari Siwa) yang memperlihatkan keragaman gender. Salah satu prosesi di Bale Pasamuan adalah “majejiwa” atau dialog ritual antara lain tentang Dewa Smara- dengan saktinya Dewi Ratih, simbol penyatuan jiwa dua manusia. Ditandai sebuah kain putih bergambar Smara-Ratih terpasang di dinding depan Bale Pasamuan. Juga simbol kekayaan alam, seperti bahan pangan bermakna kemakmuran atau kesuburan. Bale Pasamuhan juga merupakan simbolisasi bertemunya Bhakti dan Asih. Artinya bhakti umat manusia yang mempersembahkan bangunan palinggih (pura-pura) dengan tata upacaranya kehadapan Hyang Widhi, lalu Hyang Widhi dengan welas asihnya, menganugerahkan ciptaan mulia seperti kekayaan alam dan lainnya,disimbolkan sebagai Smara-Ratih itu.

O. Bale Pegat
Bale Pegat merupakan Linggih Bhatara Langlang Bhuana yakni simbolisasi Tuhan yang ada di seluruh dunia,ada dimana-mana. Bale pegat juga merupakan simbolisasi tujuan hidup tertinggi yakni moksha,lepasnya Atman dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dalam Upanishad dikatakan moksha adalah persatuan jiwa (roh) dengan Tuhan (Brahman) ibarat sungai yang mengalir ke laut dan kemudian bersatu dengan laut. Upanishad mengatakan : “Temukan kebahagiaan pada kelepasan” (Isa Upanishad); “Tuhan yang Esa yang tak terbatas adalah sumber kebahagiaan (yang tak terbatas)”. (Chandogya Upa). Moksha atau kebebasan adalah tinggal dalam wujud-Nya yang maha abadi. Karenaya orang-orang suci yang sudah bisa melepaskan diri dari ikatan duaniawi disebut ‘Sang Meraga Putus’.

Bagi umat Hindu yang hendak bersembahyang ke Pura Besakih hendaknya memohon restu terlebih dahulu di Pura Lawangan Agung.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close