PURA DALEM DESA JAGARAGA

Pura Dalem Jagaraga terkenal ke mancanegara karena relief-relief uniknya yang pernah terekam dalam “buku pintar” pariwisata Bali yang pernah dibuat oleh seorang penulis Belanda. Relief penyengker (pagar luar) pura yang berisi relief model Jeep T-Ford, pesawat terbang, sepeda gayung, perahu, tokoh wayang, dan wisatawan yang santai di bawah payung taman, sangat menarik perhatian para pelancong. Secara geografis pura dalem ini jauh dari kawasan pantai, tetapi dalam relief yang menghiasinya ada sejumlah adegan dalam air, dunia laut, yang lengkap dengan unsur-unsur lingkungannya seperti ikan, kepiting, buaya, dan bahkan “kecelakaan” laut yang menggambarkan seseorang yang ditelan raksasa laut.
Pura Dalem Jagaraga menarik sebagai bahan penelitian. Terutama tentang pola pikir para seniman yang secara “senang tanpa bebas” menghias bangunan pura dengan hiasa yang sungguh jauh dengan keperluan pura pada umumnya. Dan, itulah, kelebihan seniman-seniman Buleleng yang kerap berbeda dengan seniman lainnya di kawasan Bali yang taat pakem.
Pura Dalem Jagaraga – Buleleng
”Saksi” Perang, Prosesi Religius dan Keunikan Arsitekturnya

Belum ditemukan data pasti, entah tahun berapa didirikan Pura Dalem Jagaraga. Pura Dalem — yang dulu disebut Pura Segara Madu — ini, terletak di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Berjarak sekitar 11 km dari kota Singaraja. Pura ini merupakan Markas Komando laskar Bali dalam Perang Jagaraga, silam.

Di Pura Dalem inilah Jero Jempiring — istri patih I Gusti Ketut Jelantik — bertahan sebagai sentra perlawanan, menghadang serangan musuh, tatkala benteng Jagaraga yang berjarak sekitar 200 meter dari pura ini diduduki Belanda. Jero Jempiring dikenal luas lantaran berhasil mengatur jalannya pertempuran di sekitar Pura Dalem Jagaraga pada 1848, selaku komando dan penyala semangat laskar Bali saat menghadapi Belanda.

Konon wilayah Buleleng atau Bali utara kerap dikatakan sebagai wilayah yang senantiasa bergolak sejak abad ke-17 hingga ke-20. Kehidupan masyarakatnya yang dinamis menyentuh pergaulan multikultur. Saat itu kerajaan Buleleng memiliki rakyat yang dalam komunitas kehidupannya sangat heterogen dibanding wilayah-wilayah di kabupaten lain, misalnya bisa disebutkan adanya etnis-etnis Bugis, Cina, Arab, Jawa, Madura, dan Makassar di kawasan ini.

Religius-Spiritual
Tak kurang sejak 40 tahun sebelumnya, hingga pecah Perang Buleleng 1846, proses penyatuan komunitas Jagaraga berjalan damai dan lestari. Bisa jadi mayoritas tetua moyang kalangan Bangsawan yang punya peran penting dalam Perang Jagaraga telah berdomisili di desa ini sejak kekuasaan wangsa Karangasem berjaya di Singaraja, di awal abad ke-19, yang kemudian bersama-sama rakyat desa setempat berjuang menentang penjajah.

Alkisah, di saat Singaraja jatuh pada pertengahan tahun 1846, tersebutlah patih I Gusti Ketut Jelantik memindahkan markas perlawanannya ke Desa Jagaraga. Idenya muncul untuk membangun benteng ala Barat nan canggih sebagai markas pertahanannya. Benteng ini terletak hanya sekitar 200 meter dari Pura Dalem Jagaraga. Kedekatannya dengan lokasi Pura Dalem ini dapat disebut sebagai perwujudan sistem pertahanan “duniawi-rohani” religius-spiritual. Dan, posisi benteng Jagaraga dianggap sebagai lini terdepan dalam kawasan kekuasaan sakti Dewa Siwa — sebagai manifestasi Tuhan — yang melambangkan kehancuran dan pralina bagi musuh atau Belanda yang berani menyerbu desa ini. Sementara istana berada di pusat desa, di muka Pura Desa.
Persiapan perang yang dilakukan laskar Bali di bawah pimpinan Patih Jelantik kala itu dapat dikatakan sebagai upaya membangun kekuatan melalui ranah religius spiritual berlandaskan ajaran agama Hindu yang diyakininya. Dalam kondisi genting seperti itu, keberadaan Pura Dalem memiliki keterkaitan sangat erat dengan Pura Desa dan Merajan Agung milik kalangan brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bilangan belakang Pura Desa Jagaraga.

Prosesi itu bertujuan membangkitkan spirit perjuangan dalam rangkaian upacara masupati (memberi kekuatan gaib dan kesucian) yang dilakukan oleh Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, senjata-senjata itu konon secara magis “dihidupkan” kembali, serta siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu — dari tempat penyimpanannya, diarak menyeberang jalan di muka Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di wilayah belakang perbentengan (dekat Pura Dalem Jagaraga), seterusnya menempati posisi masing-masing memperkuat benteng Jagaraga.

Pasukan bersenjata yang sudah di-pasupati itu pun bergerak melingkar ke arah kanan (searah putaran jarum jam). Dalam mitologi Hindu kerap dinamakan gerakan pradaksina. Arah gerakan ini bermakna membawa keberuntungan serta diyakini memiliki kekuatan-kekuatan magis-spiritual, menambah energi dan daya keampuhan bagi senjata tersebut. Pola serangan melingkar itulah diterapkan di medan pertahanan Jagaraga.

Singkat cerita, Perang Jagaraga berakhir menjelang senja pada 16 April 1849, dengan menelan banyak korban di kedua belah pihak. Menurut perkiraan, sekitar 2.700 orang laskar Bali gugur dalam perang itu. Sementara korban di pihak Belanda lebih dari 400 orang, termasuk beberapa perwira menengahnya.

Keunikan Pura

Konon Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem beserta para pengikutnya juga bermarkas di Pura Dalem ini selama terjadinya pertempuran. Solidnya pertahanan ketika itu juga diperkuat oleh pasukan pecalang yang dikoordinir Jero Jempiring. Seorang perempuan, istri patih yang patriotik, pejuang andal nan gagah berani. Peran dan kontribusinya dalam kemenangan pihak Bali pada Perang Jagaraga I sangat besar, menyebabkan strategi perbentengan Patih Jelantik hidup dan berfungsi dengan baik ketika itu.

Pura Dalem Jagaraga yang piodalan-nya jatuh setiap Umanis Kuningan, wuku Langkir ini merupakan bagian dari Pura Kahyangan Tiga yang ada di Desa Jagaraga. Tempatnya berseberangan jalan dengan kuburan (setra). Pura ini menghadap ke Barat. Tapak atau site-nya memanjang dari barat ke timur. Pekarangan pura dibatasai tembok panyengker sekelilingnya. Pada jaba sisi — sebelum memasuki jaba tengah — terdapat candi kurung atau gelung kori yang khas bentuk maupun ragam hiasnya. Relief atau pepatraan-nya sangat otentik dan memiliki ciri tersendiri. Liang takikan ukiran tidak dalam, tapi melebar dan cenderung meruncing.

Di kiri kanan dari gelung kori atau candi kurung ini terdapat betelan (pintu samping kecil) yang bagian dalam atasnya melengkung. Jarak antara gelung kori maupun betelan terhadap tepi jalan amat dekat — kurang dari dua meter.

Memasuki jaba sisi, di dalam halamannya terdapat bangunan bale gong yang berdenah segi empat panjang dan beratap seng, serta bale pawaregan yang juga beratap seng. Uniknya, sebelum memasuki halaman jeroan inilah baru bisa ditemui candi bentar. Di kiri kanannya juga terdapat pintu betelan, bentuknya nyaris serupa dengan betelan di luar yang membatasi jaba sisi dengan jaba tengah. Lubang pintu bagian atas berbentuk lengkung.
Pada halaman jeroan inilah berdiri antara lain palinggih Sapta Petala di area kelod kangin atau tenggara, gedong Prajapathi, padmasana dan gedong Ida Betara Dalem yang semuanya berjajar di timur. Di sebelah baratnya masing-masing terdapat taksu, bale pengaruman dan bale piasan.

Keunikan yang dimiliki oleh arsitektur Pura Dalem Jagaraga ini merupakan salah satu aset arsitektur yang ornamentik atau dengan ragam hias yang unik dan otentik. Begitu pula kehidupan sosio-religius masyarakatnya. Semua itu sepatutnya senantiasa dinaungi oleh denyut-denyut pelestarian tradisi yang dijiwai nilai-nilai patriotisme, kebersamaan dan persatuan dalam berkehidupan atau bermasyarakat. Terlebih keberadaan pura ini juga menyimpan nilai-nilai historis perjuangan rakyat Buleleng melawan penjajah (Belanda) tempo dulu.

Pura Dalem Jagaraga menarik sebagai bahan penelitian. Terutama tentang pola pikir para seniman yang secara “senang tanpa bebas” menghias bangunan pura dengan hiasa yang sungguh jauh dengan keperluan pura pada umumnya. Dan, itulah, kelebihan seniman-seniman Buleleng yang kerap berbeda dengan seniman lainnya di kawasan Bali yang taat pakem.
Pelestarian nilai-nilai dan tampilan wujud arsitekturnya turut berperan di dalam menanamkan nilai-nilai moral yang arif secara berkelanjutan.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close