PURA NEGARA GAMBUR ANGLAYANG

PURA NEGARA GAMBUR ANGLAYANG

Demokrasi dan Toleransi dari Pura Negara Gambur Anglayang

Sikap inteloran belakangan benar-benar mengkhawatirkan bangsa ini. Padahal, para leluhur bangsa ini sudah mengajarkan hidup rukun dan damai meski berbeda, suku, agama, ras dan etnis. Seperti yang diajarkan para pendiri Pura Negara Gambur Anglayang.
Daerah Pantai Utara (Pantura) Bali, terutama di bagian timur, terdapat banyak situs yang bisa dijadikan semacam cermin untuk melihat wajah manusia Indonesia di masa lalu. Wajah manusia yang beragam–berbeda suku, agama dan ras — namun mereka tetap hidup dalam satu ruang yang damai, rukun dan aktif. Dari situs-situs itu bangsa Indonesia bisa belajar tentang interaksi sosial, budaya dan kerukunan antarmanusia. Salah satu di antaranya adalah Pura Negara Gambur Anglayang yang berlokasi di Desa Kubutambahan, Buleleng. Seperti apa kearifan peradaban masa lalu yang bisa dipetik dari pura ini, khususnya dalam konteks menciptakan kedamaian dan keutuhan bangsa?

SETELAH bom meledak di Legian, Kuta, 12 Oktober lalu, banyak kalangan cemas: jangan-jangan konflik horisontal juga turut meledak di Bali, seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Palu dan lain-lainnya, yang akhirnya bisa meluluhlantakkan, tanpa sisa, seluruh tatanan kehidupan ekonomi dan sosial. Namun apa yang dicemaskan tak pernah terjadi. Masyarakat Bali–masyarakat yang hidup di Bali– dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal, malah bahu-membahu menanggulangi bencana dahsyat itu.
Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala. Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.

Pura itu terletak di tepi Pantai Tabaning, Kubutambahan. Tabaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abad ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas.
Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya, Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha — budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-13). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.
Karena tempat itu dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambang dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal.

Pura Negara Gambur Anglayang hanyalah salah satu dari situs yang tersebar di wilayah Buleleng Timur. Ada delapan pura lagi yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan pura Gambur Anglayang, yakni Pura Puseh Penegil Dharma, Pura Pingit, Pura Meduwe Karang, Pura Patih, Pura Dalem Puri, Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik. Semua pura ini memiliki kaitan yang tak bisa dicerai-beraikan. Berdirinya pusat spiritual ini bisa dilacak mulai dari abad ke-9 ketika rombongan Sri Kesari Warmadewa melakukan perjalanan dari Prambanan-Kahuripan terus ke ujung Pulau Jawa atau Prawali yang kemudian dikenal dengan nama Bali. Perjalanan itu dilakukan karena ia sangat meyakini adanya nur (sinar) Tuhan di ujung timur Pulau Jawa itu. Sampailah Warmadewa di sebuah laguna atau danau yang sangat luas yang mempunyai muara ke laut, tempat di mana nur Tuhan itu diyakini berada. Tempat itu disebut kawista atau kawi prayascita. Lokasi itu tak lain di Buleleng Timur.
Di tempat itulah Raja Sri Kesari Warmadewa, membangun istana sebagai pusat pemerintahan dan pusat agama. Sri Kesari Warmadewa kemudian mengangkat Resi Markendiya menjadi Kuturan atau Senapati Kuturan, sebagai penasihat spiritual raja.

Sebagai pusat dagang, pemerintahan dan spiritual, kerajaan itu banyak didatangi orang dari berbagai daerah lain, bukan hanya di Nusantara, juga dari Melayu, Cina, Babilonia dan lain-lainnya. Jejak-jejak sejarahnya tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.
Seperti apa pun perjalanan sejarahnya, situs Pura Gambur Anglayang bisa memberi pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Bahkan budayawan kondang Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang sempat mengunjungi pura itu baru-baru ini tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Ketika menyaksikan delapan pelinggih penting itu, ia lantas berujar lantang: “Pemimpin-pemimpin Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini”.
Di pura itu Cak Nun mengaku melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, katanya, jauh sebelum mengenal istilah demokrasi dan toleransi ternyata telah menciptakan suatu masyarakat demokratis dengan toleransi yang tinggi. Tanpa tujuan muluk-muluk mereka telah menyatukan keberagaman dalam sebuah ruang kehidupan sosial dan spiritual yang tinggi.
Emha bahkan berani mengatakan, Pura Gambur Anglayang ini merupakan perwujudan masa depan Indonesia. Masa depan Indonesia, katanya, telah tergambar dalam pura tersebut. Untuk itu Cak Nun mengundang para pemimpin Indonesia untuk datang ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani.

Dari Daratan Cina
Dilihat dari luar, Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di Bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggih-nya yang mencerminkan berbagai suku dan agama di dunia.

Pura ini didirikan sebagai tanda peringatan adanya tali persaudaraan antara kelompok masyarakat sekitar pura dengan orang-orang tertentu yang dianggap braya. Hal itu tampak dalam jejak catatan berupa pelinggih-pelinggih (tempat menupacarai, tempat “kediaman”) tokoh-tokoh yang ada dalam ikatan persaudaraan tersebut. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan, Ratu Agung Melayu, Ratu Agung Syah Bandar, Ratu Ayu Mutering Jagat, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Dalem Mekah, Batara Surya, Batari Sri Dwi Jendra, dan satu pelinggih yang tanpa nama. Kesembilan pelinggih itu ditempatkan dalam satu deretan yang menghadap halaman dalam pura berupa lapangan penuh batu. Batu-batu halus khas pantai Buleleng Timur memenuhi halaman tengah pura ini. Khusus untuk pelinggih Batara Surya, posisinya menghadap arah Barat-Timur.
Bagian-bagian bangunan pura lainnya yang dianggap unik adalah adanya pola hias pinggir Yunani, berbentuk huruf T yang disusun berbalikan, ditempatkan di antara pola hias gaya Bali lainnya. Bagian candi bentar pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah dibiarkan miring. Konon, kemiringan itu terjadi sendirinya, hingga kini kondisi itu tidak berubah lagi. Dan, menurut para penutur, khusus untuk pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah ini, ada kaitan dengan persaudaraan antara pembangun pura dengan braya muslim yang berangkat ke Mekkah dan tidak pernah kembali. Pura ini, memang, dikenal dengan sebutan Pura Mekah, karena terkait dengan keberadaan jejak persaudaraan tadi.

Menurut cerita Nyoman Laken,sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi pedagang dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda-beda. Ketika kondisi perekonomian dan hubungan dagang sangat lancar maka
pada suatu ketika ada sebuah perahu dengan beberapa penumpang dengan bermacam etnis bersandar di Pantai Tabaning.
Tujuan perahu dagang tersebut adalah mencari barang dagangan. Mereka terdiri dari berbagai suku bangsa. Di antaranya, suku Tionghoa, Melayu, dan Sunda. Sebagian dari rombongan tersebut beragama Islam.

Setelah mendapatkan kebutuhan yang dicari, maka mereka bersiap melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya. “Namun terjadi musibah secara tiba-tiba. Perahu yag mereka tumpangi mengalami kebocoran sehingga tidak bisa berangkat,” kata Laken.

Dengan upaya maksimal para awak kapal dibantu oleh penduduk pantai memperbaiki perauh tersebut. Namun usahanya sia-sia. Akhirnya salah satu awak kapal mengajak teman-temanya bersembahyang pada palinggih di pesisir Kuta Baning sembari memohon kekuatan. Tak lupa mereka mengucapkan kaul. “Bila perjalanannya selamat dan usahanya sukses mereka berjanji untuk mengakui, percaya dan yakin serta ikut mengagunggkan dengan membangun tempat suci untuk memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa sebagai Ciwa,” ujar Nyoman Laken yang didampingi Kelian Krama Gede Sumuh,78.

Hasilnya, cukup menakjubkan. Perahu yang ditumpangi para pendatang itu berhasil diperbaiki. Mereka pun akhirnya bisa melanjutkan perjalanannya.

Menurut Laken, dulu tempat ini sangat strategis hingga didatangi banyak pedagang dari berbagai wilayah. Karena dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, maka dibagunlah pura, meskipun berlainan keyakinan dan kepercayaan. Dan tidak sedikit orang menyebutkan jika pura ini adalah Pura Pancasila.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close