Arti Sarana Persembahyangan

Untuk melaksanakan sembahyang perlu adanya sarana sembahyang. Tanpa sarana, pelaksanaan persembahyangan rasanya bakti kita kepada Ide Sang Hyang Widhi kurang begitu hidmat. Sarana persembahyangan berasal dan isi alam semesta, berarti manusia menghaturkan suksemannig idepnya atas berlimpah ruahnya anugerah Tuhan. Sarana pada dasarnya berupa material seperti: 1. Bunga, daun, buah-buahan serta hasil bumi lainnya. 2. Api/Dupha. 3. Air (tirtha) ketiga sarana pokok tersebut mempunyai fungsi masing-masing.

Bunga

Bunga mempunyai dua fungsi penting yaitu: a. Sebagai simbul Tuhan (Siwa). b. Sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau disumpingkan di telinga. Bunga sebagai saranha persembahan maka bunga dipakai mengisi sesajen. Bunga perlambang ketulus ikhlasan dan kesucian hati untuk menghadap pada sang pencipta. Dari bunga, daun, buah-buahan serta isi bumi lainnya menurut tatwa agama dibuatlah rangkaian yang me-ngandung filosopi tinggi yang dinama-kan canang.

Unsur pokok pembentuk canang adalah: Porosan bahan dasarnya pinang kapur dan sirih inilah simbolis Tri Murti karena kehidupan manusia terkait dengan unsur ini.

Bila diartikan lebih mendalam makna banten canang adalah: 1. Sebagai simbul perjuangan manusia yang selalu mohon petunjuk dan bantuan dari Ida Sanghyang Widhi. 2. Menumbuhkan pikiran yang jernih serta tulus, karena pikiran merupakan sumber segalanya tercermin dari frint out yang berupa perbuatan dan perkataan.

Bunga sebagai lambang Makna, hal ini tampak jelas dalam kekawin Ramayana ketika Rama berperang melawan Rahwana. Para dewa berpihak pada Sang Rama dengan menghujani bunga yang harum baunya. Dalam kitab Surya Sewana yang merupakan kitab pagelaran sang Pandita, ketika akan membuat Tirtha, bunga sebagai lambang Dewi Gangga dewanya tirtha. Bunga sebagai lambang keprawiraan. Lontar dasa Nama menyebutkan para prajurit atau mahapatih dalam penokohan kesenian Bali selalu memakai kembang sepatu yang memancar gagah berani bergelar Wira Kusuma.

Dalam Kekawin Negara Kerthagama dijelaskan bunga dipakai Upacara Saradha yaitu upacara penyucian Roh Leluhur tahap kedua di Bali disebut Puspa Lingga. Tahap pertama dinamakan Puspa Sarira yang artinya berbadan bunga. Inilah yang dibakar sebagai simbul badan manusia. Tujuannya agar jiwatman bisa menyatu ke alam Ketuhanan yang dinamakan Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka.

Fungsi bunga berbeda beda tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan. Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan multi guna adalah bunga Teratai. Bunga ini akarnya di lumpur daunnya di air dan bunganya membujur di udara.

Dupa

Bagian kedua dari Sarana persembahyangan adalah Dupa atau Api. Api/Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang Agni dan berfungsi sebagai: – Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. – Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat. – Sebagai saksi dalam upacara.

Kalau kita renungkan fungsi dan arti dupa dalam upacara persembahyangan yang dipimpin pendeta punya arti sangat dalam. Dupa berasal dari Wisma yaitu alam semesta dan asapnya secara perlahan menyatu ke angkasa inilah sebagai perlambang menuntun umat agar menghidupkan api dalam raga dan menggerakkan menuju Sanghyang Widhi.

Pemangku atau Pinandhita dalam memimpin upacara menggunakan api dalam bentuk Pasepan yang isinya: Menyan, Majegau dan Cendana dibakar agar berasap dan berbau. Maknanya sbb: Menyan untuk memuja Dewa Siwa, Majegau untuk memuja Dewa Sada Siwa dan Cendana untuk memuja Parama Siwa. Disinilah Pemangku/Pinandita menggunakan Puja Seha sebagai medianya. Mengenai pasepan/asep sangat jelas terdengar pada bait Kidung Warga Sari yang biasa disuarakan pada upacara panca yadnya sebagai permohonan agar para Dewata segera turun.

Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran tampak jelas pada persembahyangan sehari hari dimana melalui mantram Ong Ang Dipastraya namah swaha berarti mohon disucikan diri atas sinar suci Ida Sanghyang Widhi. Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembah¬angan dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani ke angkasa sebagai stana para Dewa. Dupa sebagai sarira Sanghyang Agni maha melihat perbuatan manusia. Dalam Mitos Hindu yang terdapat pada Lontar Siwa Gama dijelaskan saat rapat para dewa di Sorga yang dipimpin oleh Dewa Siwa, saat itu hadir pula Dewa Surya, oleh karena penampilan Dewa Surya sangat simpatik maka dewa Siwa menganugrahkan tugas agar mewakili dirinya di dunia yaitu sebagai saksi alam semesta. Pada saat itu pula Dewa Siwa bergelar Siwa Raditya. Begitu pula Dewa Surya mulai saat itu berguru padanya sehingga diberi nama Batara Guru. Lontar Siwa Gama menyebutkan bahwa matahari sebagai ciptaan Tuhan dan saksi di dunia, maka dari konsepsi ini merupakan dasar setiap upacara panca yadnya selalu dibuatkan Sanggar Surya mengarah dimana matahari terbit sebagai stana Siwa Raditya.

Air (Tirtha)

Air merupakan sarana yang Penting dalam persembahyangan. Menurut jenisnya air yang dipakai dalam persembahyangan air dibedakan atas dua macam yaitu: 1. Air untuk pembersihan secara pisik. 2. Air suci (tirtha). Berdasarkan cara pembuatannya tirtha dibedakan atas dua jenis tirtha yang dimohonkan pada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita melalui mantra atau puja.

Air suci (tirtha) berfungsi sebagai pembersihan diri dan kecemaran pikiran sabda, bayu dan idep. Tirtha pada dasarnya merupakan air biasa bila diuraikan secara kimia maka unsurnya adalah H2O tetapi karena dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan agama maka materi tersebut disakralkan sehingga mampu menumbuhkan keheningan pikiran bahkan memiliki kekuatan magis.

Hubungannya dengan persembahyangan fungsi tirta sebagai pembukaan dan penutup. Pembukaan yaitu tirtha pengelukatan dan penutup adalah tirta wangsuh sebagai perlambang anugerah yang dipuja. Tirtha hanya bisa dibuat oleh Pendeta/Dwijati, tapi tirtha bisa dimohon oleh siapa saja sepanjang memenuhi syarat agama, sesuai desa kala dan patra dengan cara nuur kehadapan dewa Siwa. Tirtha yang digunakan sebagai pengurip atau penciptaan caranya dengan dipercikkan di atas banten maka secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sacral dan berjiwa sepiritual.

Nama bebanten akan sah bila sudah mendapat tirtha pengurip bebanten sebelum itu masih merupakan rangkaian bunga, daun dan buah-buahan. Demikian sarana persembahyangan mempunyai makna sesuai ajaran agama Hindu bila kita yakini akan memberi manfaat yang besar untuk kehidupan umat yang percaya.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close