PURA CANDIDASA

Pura Candi Dasa terletak di Banjar Samuh, desa Bugbug, Kabupaten Karangasem, lokasinya di pinggir jalan raya yang menghubungkan dua Kabupaten yaitu Klungkung dan Karangasem. kalau dari Denpasar sekitar 45 km sebelah kiri jalan, karena letaknya di sebuah ketinggian dan harus melalui beberapa anak tangga, sehingga sepintas dari jalan Raya tidak begitu kelihatan, hanya pintu Gapura menuju pura yang tampak.Posisi pura sangat strategis kalau dilihat dari segi pariwisata, menghadap ke samudera dan tepat bersebrangan dengan sebuah danau buatan yang terletak di tengah-tengah objek wisata Candi Dasa,Dengan akses ke lokasi Pura yang cukup mudah, baik itu untuk keperluan beribadat ataupun bagi para wisatan, membuat Pura ini selalu ramai dikunjungi, sehingga Kahyangan ini menjadi terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Orang mulai penasaran dengan ingin mengetahui keberadaan pura ini dengan datang langsung sembahyang, dan ingin mengetahui sejarahnya berikut status dan fungsinya.

Sejarah

Dahulu, Candidasa dikenal sebagai Teluk Kehen yang sebenarnya namanya Chili Dasa, yang berasal dari kata Chili dan dan Dasa yang artinya Chili yaitu anak kecil dan Dasa artinya banyak Namun, sejak daerah ini dibuka menjadi objek wisata, nama Candi Dasa pun mulai digunakan.Namun, dianggap pemilihan nama ini berhubungan dengan cerita “lingga” di bagian dalam Candi yang terletak pada perbukitan Candidasa.

Naskah kuno menyebutkan bahwa Pura Candidasa dibangun pada abad ke-12. Ada “lingga” yang terdapat di dalam candi yang dipercaya sebagai symbol Dewa Siwa. Di tempat suci ini konon bisa mendapatkan penghargaan tertinggi atau “sorga” dengan uttering sepuluh huruf yang disebut “Dasa Aksara” (Dasa artinya sepuluh) dan tempat untuk meminta anak atau keturunan Cerita lain mengatakan bahwa nama Candidasa diinspirasi oleh sebuah patung dekat lingga. Patung itu adalah patung Dewi Hariti yang dikelilingi oleh 10 anak. Dipercaya bahwa Dewi Hariti memberikan berkah berupa kemakmuran dan kesejahteraan kepada mereka yang bersembahyang disana.

Pura Candidasa juga dikaitkan dengan Raja pilau Bali Sri Aji Jayapangus.
Di kisahkan pada tahun saka 1103 (tahun 1181M) bertahta seorang Raja pulau Bali, keturunan Waisnawa bergelar Sri Aji Jayapangus Arkajalancana. Sri Aji Jayapangus menjadi raja di pulau Bali di damping oleh dua istrinya yaitu Paduka Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajachina. Salah satu istri Sri Aji Jayapangus adalah penganut Buddha sedangkan Sri Aji Jayapangus penganut Siwa. Saat pemerintahan Sri Aji Jayapangus terjadi pergolakan dari dua kekuat yaitu Siwa dan Buddha, karena sudah bergejolak di Bali saat pemerintahan Sri Aji Jayapangus ingin mempersatukan Siwa dan Buddha di Pura Candi Dasa. Dari semua keturunan-keturunan Sri Aji Jayapangus lah yang mempersatukan Siwa dan Buddha. Siwa disini adalah pengikut ajaran Siwa Sidhanta, sedangkan Buddha merupakan pengikut Buddha Mahayana dan Hinayana. Disatukan disana dengan tujuan kedua kekuatan itu menjadi satu agar tidak ada lagi bergejolak.

Sri Aji Jayapangus berhasil memimpin seluruh pulau Bali oleh karena bijaksana, bertingkah laku baik, masih muda, tampan, dan pandai dalam bidang pemerintahan, agama, dan ilmu peperangan. Selalu di damping oleh kedua istrinya, serta Para Patih, Para Mentri, Pewira, sehingga semuannya dapat menciptakan situasi dan kondisi aman sentosanya pulau Bali. Kemudian Sri Aji Jayapangus Arkajalancana, bersama kedua istrinya yaitu Sri Prameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajacihna, beliau bersabda kepada para pendeta penganut ajaran Siwa dan Buddha setelah mengadakan rapat agar membangun sebuah Parhyangan Widhi (Pura), yang diberi nama Candi Dasa, pada tahun 1112 saka (1190 M).

Dengan adanya pertemuan itu, hingga kini tempat disekitar Pura Candi Dasa dinamakan Samuh yang berasal dari kata Samuha yang dalam bahasa kawi berarti; perudingan, dan perkumpulan. Dan akhirnya menjadi sebuh Banjar Adat yaitu Banjar Adat Samuh. Dan peninggalan lain yaitu Pelinggih Siwa dan Buddha. Pelinggih Siwa yang berbentuk Lingga Yoni berada di atas dan pelinggih Buddha yang berwujud Dewi Hariti yang berada dibawah. Keyakinan masyarakat disana Dewi Hariti pada mulanya adalah seorang yaksa dalam agama Buddha yang suka makan anak-anak. Namun setelah mendapatkan pencerahan ajaran Buddha, sang Dewi kemudian bertobat dan berbalik menjadi pelindung dan penyayang anak-anak. Masyarakat setempat meyakini bahwa Dewi Hariti ibu beranak banyak yang dapat memberikan kemakmuran dan kesuburan. Oleh karena itu, banyak pasangan suami istri yang datang untuk mendapatkan sebuah keturunan. Pasangan suami istri yang menginginkan keturunan biasanya mekemit di Pura Candi Dasa dan sembahyang tiga kali sehari (Tri Sandya).

Pura Candi Dasa merupakan Pura dengan konsepsi Rwa Bhineda yakni Purusa dan Perdhana. Dewi Hariti merupakan lambang Perdhana sedangkan Lingga Yoni merupakan lambang Purusa. Pura Candi Dasa merupakan penyatuan antara daratan dan lautan yang disebut Nyegara Gunung. Diantara daratan dan lautan terdapat kolam air tawar yang merupakan penghubung gunung dan lautan. Dimana laut, kolam/danau, dan sungai merupakan lambang Predhana sedangkan gunung merupkan lambang Purusa. Kolam di depan Pura Candi Dasa disebut dengan Cala Dasa. Cala sama dengan Mala yang artinya ketidak baikan. Cala Dasa diartikan sepuluh ketidak baikan/sepuluh kekotoran. Dan hanya bisa dibersihkan atau disucikan di kolam itu, sehingga Candi Dasa yang menyatu dengan kolamnya menjadi Sudhamala. Hal ini sangat erat kaitanya dengan adanya kolam yang memiliki sepuluh mata air suci yang terdapat dihalaman depan Pura Candi Dasa. Jadi di kolam itu merupakan tempat untuk melukat yakni untuk membersihkan atau melebur “Dasa Mala” sepuluh ketidak baikan/kekotoran seserorang baik secara lahir maupun batin agar menjadi suci kembali.

Pura Candi Dasa di empon oleh masyarakat Desa Bugbug. Upacara piodalannya pada saat Sasih Kasa sekitar bulan Juli, penanggalan ping 14/15 dan pangelong ping 1, 2, 3 nuju beteng. Selain itu, masyarakat Hindu pada umumnya juga mengadakan persembahyangan pada hari-hari suci seperti tilem, purnama, galungan dan kuningan. Sedangkan bagi Krama Sayan Samuh yang merupakan kelompok masyarakat petani lahan kering yang berada di Banjar Adat Samuh diberikan kewenangan oleh Desa Pakraman Bugbug untuk melaksanakan upacara “Ngepik” yaitu upacara memohon hujan untuk kesuburan dan berhasilnya petanian lahan kering. Di Pura Candi Dasa lah tempat utuk memohon agar diberikan berkah kesuburan dan kemaksmuran serta hasil panen yang berlimpah dan hewan-hewan ternak agar hidup dan mendatangkan hasil.

Pelinggih di Pura Candi Dasa (Chili Dasa) yaitu Pelinggihan Betrara Surya fungsinya sebagai Hyang Widhi dan Pelinggihan Ida Bagus Besakih fungsinya sebagai tempat untuk memusatkan pikiran serta rasa bakti kita kepada Hyang Widhi

Pura Candidasa dikenal karena Industri pariwisata bermunculan dengan latar belakang Samudra Hindia. Dari tempat ini kita bisa melihat Pulau Lombok dan Nusa Penida dan cahaya “jukung” yakni perahu tradisional yang bersinar akan selalu membawa Anda untuk datang lagi.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close