PURA DAN PELINGGIH DI PULAU MENJANGAN

Pulau Menjangan terletak di sebuah pulau kecil wilayah desa Sumber Klampok, kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng. Pulau seluas seratusan hektar ini dihuni oleh menjangan, namun kini populasinya sudah sangat sedikit. Diceritakan bahwa ketika Mpu Kuturan datang ke Bali, ada seekor manjangan yang menghampiri beliau dan menawarkan diri untuk ditunggangi menuju Bali. Dengan adanya menjangan ini beliau sampai di Bali. Menjangan itu akhirnya berkembang-biak sampai di sini.
Di pulau ini juga terdapat 8 pura dan pelinggih yang merupakan sebuah pura yang awalnya menjadi ciri perbatasan antara pulau Bali dan Pulau Jawa. Cerita ini berkaitan dengan babad perjalanan Dang Hyang Siddhimantra ke Bali.

Sejauh ini belum ada manusia yang tinggal menetap di pulau, namun setiap hari ratusan umat datang untuk bersembahyang pada beberapa tempat suci yang dibangun disini. Hanya dengan sekitar 30 menit pulau kecil ini dapat dicapai dengan perahu boat bermesin dari beberapa pelabuhan disekitar pulau. Laut pada umumnya tenang hanya sesekali bergelombang ketika angin barat bertiup sedikit kencang.

Selain datang untuk bersembahyang para wisatawan memanfaatkan keindahan pulau untuk melaksanakan kegiatan olah raga air seperti fishing, snorkeling, diving, dan sekedar menikmati perjalanan. Air laut yang tenang sangat mendukung untuk kegiatan ini. Ditambah lagi taman laut dengan berbagai macam jenis koral/terumbu karang yang sangat indah dan ikan hias yang beraneka macam dan warna membuat pulau ini mempunyai prospek masa depan yang baik untuk pengembangan wisata buleleng barat.

Apabila anda datang untuk bersembahyang, setelah turun dari perahu kayu bermesin, setelah melalui sedikit tanjakan, tempat sembahyang atau pelinggih pertama yang ditemui adalah Pelinggih Lebih stananya Patih Pengadang-Adang. Disini para pengunjung yang datang untuk bersembahyang atau pemedek terlebih dahulu memberitahukan maksud kedatangan, mepuining, bahwa meraka akan tangkil menghaturkan sujud bhakti kepada para dewata yang bersthana di Pura Pingit Klenting Sari di Pulau Menjangan.

Pura Taman Beji
Meniti jalan yang sedikit menanjak, dikelilingi belukar yang mengering dan tandus, arah untuk mencapai pelinggih berikutnya. Bila sejenak anda menoleh kebelakang, lautan biru yang luas dengan latar belakang daratan dan perbukitan pulau Bali di kejauhan, membentuk panorama yang indah mengagumkan.

Pemedek pertama akan tiba di Pura Taman Beji. Disebelah kirinya terdapat wantilan kecil untuk tempat menata banten aturan. Sebelah kanan wantilan pintu masuk ke Pura Taman Beji. Disini bersthana Ida Betari Duayu Taman. Persembahyangan pertama kali dilaksanakan disini. Terdapat pula pelinggih berbentuk batu dimana banyak pemedek menghaturkan rokok.

Sthana Hyang Brahma Ireng
Berikutnya, melalui jalan kecil pemedek akan diarahkan ke Pasraman Agung Kebo Iwa, dimana bersthana Hyang Brahma Ireng. Pada wantilan berukuran sedang dengan genteng dan lantai berwarna merah bata, pemedek melaksanakan persembahyangan yang kedua. Terdapat gedong penyimpenan yag diaput oleh dua patung. Suasana warna merah terasa disini.

Persembahyang ketiga dilaksanakan di Pagoda Agung Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang pemberi anugrah kemakmuran. Pagoda dengan cat tembok berwarna pink dan genteng berwarna merah ini tidak begitu luas, menampung sekitar 30 pemedek. Suasana klenteng mandarin bernuansa merah terasa ditempat pemujaan ini. Pemedek tidak meggunakan sarana kembang untuk sembahyang akan tetapi cukup dengan sarana asep dupa. Mantram yang diucapkan tidak mengucapkan pancasembah seperti dilaksanakan di pura seperti biasanya, melainkan dengan mantram: ‘namasiwaya amitaba’ yang diucapkan tigakali, kemudian pemedek menyampaikan doa permohonan, dupa digerakkan tiga kali kedepan, dupa lalu dipersembahkan kepada Hyang Budha.

Namasiwaya adalah doa dari mantram pancaksaram, sedangkan amitaba adalah doa kepada Sang Budha.
Terdapat pesan spiritual Dewi Kwan Im:
Whai anak-anaku, apapun yang engkau haturkan / persembahkan kepada-Ku, terkecuali daging, asalkan dilandasi rasa tulus ikhlas, aku terima dengan senang hati. Semua persembahanmu itu nanti akan aku kembalikan lagi kepadamu dalam bentuk yang lain demi untuk kehidupanmu yang lebih baik dikemudian hari.”

Persembahyangan keempat di Pendopo Agung Gajahmada. Bangunan Ada pelinggih gedong didalam tempat bersthana Hyang Wisnu Murti yang terkenal dengan sabda suci beliau Swatabanayama.
Isinya adalah:
“Berbuatlah suatu kebaikan demi untuk dirimu sendiri, sebagai bekal untuk pulang ke sunialoka/ kehidupan setelah kematian. Sucikan Pikiranmu. Sucikan Perkataanmu. Sucikan Perbuatanmu. Sucikan Bajumu. Sucikan Tanganmu. Sucikan Kakimu. Untuk bisa membuka Pintu Sorga.”

Setelah sembahyang selesai, pemedek mendapat anugrah berupa benang tridatu berwarna putih, mewah, dan hitam, lambang kekuatan Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang dililitkan pada pergelangan tangan kanan. Juga tirta dan semacam bija dari abu yang berwarna abu kecoklatan yang ditempelkan di dahi diantara kedua alis.

Berikutnya atau persembahyangan kelima di Pelinggih Ida Betara Lingsir Sang Hyang Pasupati atau Sang Hyang Nunggal. Pemedek disambut dengan bangunan candi gelung yang cukup besar, berwibawa, dan berwarna putih, karena dikonstruksi dengan bebatuan kapur disekitar pulau. Masuk melalui kiri candi tiba di mandala utama, terdapat berdiri Padmasana bewarna putih kapur pelinggih Sang Hyang Pasupati, menjulang tinggi diapit patung ekor dua naga. Ada juga pelinggih Meru Tumpang Tiga disini.

Seorang Mangku Istri memimpin persembahyang kala itu. Pada pelinggih sebesar ini tak terdengar adanya suara klenengan genta sang pinadita dalam prosesi persembahyangan malahan suasana berjalan tenang dan hikmat. Masih perlu didiskusikan apakah diperlukan suara genta pinandita dan/atau pandita pada setiap prosesi upacara agama?. Saya rasa tidak. Suara genta adalah pilihan dan tidak wajib.

Selanjutnya yang keenam pemedek dapat melanjutkan persembahyangan ke Pelinggih berbentuk Pagoda Ida Betara Lingsir Dalem Airlangga. Di sebelah kirinya berdiri pelinggih gedong sthana Ida Betara Dalem Waturenggong. Kedua pelinggih ini berdiri tepatdipinggir tebing sehingga pemandangan laut dapat dinikmati dari sini.
Tumpang sebelas yang megah menjulang tinggi, yang juga berwarna putih, sthana

Pelinggih yang ketujuh adalah Pelinggih Betara Ganesa, putera betara Siwa yang diutus ke bumi untuk menyelamatkan bumi beserta isinya, memberantas kejahatan dan keangkaramurkaan yang menyengsarakan penghuni bumi persada. Di sebelah kiri ke atas masih ada sebuah pelinggih kecil yang menghadap ke laut.

Pura Segara Giri – Gili Kencana Menjangan yang merupakan sthana Ida Betara Lingsir Sang Hyang Pasupati. Menuju kesini pemedek meniti jalan kecil setapak dan menanjak diantara sema-semak kecil yang agak kering. Pura ini merupakan pura terakhir yang dapat dikunjungi.
Alkisah, di pulau inilah sejatinya Dang Hyang Siddhimantra menorehkan tongkatnya untuk membelah pulau Jawa dan Bali, sehingga terlahirlah Pulau Menjangan. Untuk menghormati jasa beliau, dibangunlah sebuah pura yang bernama “Pura Segara Giri Dharma Kencana” yang berarti pura penting karena berada pada wilayah garis kebenaran (giri berarti bumi atau wilayah, dharma artinya kebenaran, dan kencana maksudnya garis). Tampak patung Dewa Ganesha tinggi menjulang di pulau ini.

Berdasarkan informasi, piodalan jatuh pada setiap Purnama Kepitu menurut penanggalan Bali. Namun perlu dicek lagi kebenarannya.

Fasilitas Hotel
Apabila anda datang dari arah Denpasar dan dan berniat menghabiskan waktu disini, sebaiknya anda menginap. Ada beberapa tempat wisata di sekitar pulau menjangan yang bisa anda pilih misalnya Pantai Lovina. Juga berapa hotel dan penginapan yang dapat anda pilih sendiri sesuai dengan kemampuan kantong anda.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close