SEJARAH KEDATANGAN AGAMA HINDU DI BALI

Kedatangan orang-orang Hindu ke Bali.
Pada bulan Maret atau April tahun 250 Masehi sasih ka Sanga tahun 172 Isaka, datanglah serombongan orang Hindu dari Jawa ke Bali, rombongan itu terdiri dari bangsawan, prajurit, pemuka agama, pendeta Siwa-Budha, ahli pertukangan dan kesenian, serta rakyat biasa yang berjumlah kurang lebih 400 orang. Hal itu termuat dalam prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung. Pemimpin agama itu terdiri dari: Shri Bayu, Shri Gni Jaya Sakti, Shri Sambu, Shri Brahma, Shri Indra dan Shri Wisnu.
Sementara yang memimpin rombongan itu ialah Maha Raja Jaya Sakti. Kedatangan mereka ke Bali, mula-mula menuju sebuah Gunung yang disebut Adri Karang. Adri berarti gunung dan Karang berarti Batu Karang. Tempat itu terletak di Bali bagian timur, raja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan pemimpin rombongan itu diserahkan kepada Shri Bayu yang kemudian bergelar Prabhu Maharaja Bima. Dibawah Shri Bayulah pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, serta ahli lain mengajarkan kecakapan masing-masing kepada penduduk Bali Aga. Shri Bayu membuat sebuah pesangrahan di Bantiran Tabanan, tempat beliau pertama mengajarkan tata susila yang disebut Sila Krama, ajaran itu melarang penduduk melakukan perkawinan terhadap saudara sepupu, terutama kepada ibu atau bapak yang melahirkanya.
Shri Gni Jaya Sakti membuat pertapaan di Gunung Lempuyang, yang disebut Karang Asma, Asma berarti Asrama, perkataan yang lama-kelamaan berubah bunyinya menjadi Karangasem.

Demikian banyaknya pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, sehingga sampai sekarang masih banyak orang Bali Aga yang memeluk agama Bayu, agama Sambhu, agama Kala, agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Indra, agama Bayu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa Bintang dan Dewa Angin, serta waktu meningal mayatnya tidak dikuburkan, melainkan diletakan di tebing-tebing yang dianggap keramat, agama itu sampai sekarang masih dianut oleh orang-orang Trunyan Kintamani. Agama Sambhu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa yang bersemayam di patung dan arca, serta pada waktu mangkat mayatnya harus segera dikuburkan, setelah dimandikan dengan air Petpetan Ketan.
Agama Kala mengajarkan penganutnya agar menyembah segala yang dianggapnya angker, upacara pada waktu matinya mengunakan Daun Bidara, mayat harus di buang ke dalam jurang, penganut agama itu masih ada di desa Sembiran. Agama Brahma mengajarkan pada penganutnya agar menyembah kepada Dewa Agni, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan daun Delima dan segera di bakar di kuburan. Agama Wisnu mengajarkan penganutnya agar menyembah Dewa Hujan, upacara pada waktu matinya mempergunakan air bunga atau air kumkuman untuk memandikan mayatnya, dan segera dihanyukan ke dalam sungai. Agama Indra mengajarkan penganutnya menyembah Dewa Gunung dan Bulan, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air beras, kemudian diletakan di tebing sungai, atau di dalam goa, agama ini dianut oleh penduduk Tenganan Pagringsingan Karangasem.

Kedatangan orang Hindu ke Bali tepat pada sasih ka Sanga, maka perayaan hari raya Nyepi yang diadakan tiap tahun di Bali, dapat juga diperkirakan untuk menghormati hari kedatangan leluhur mereka dijaman bahari, keturunan orang Hindu itulah yang kini di sebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang Bali Aga yang lebih dahulu mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orang-orang Hindu, pada sebuah prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Badung, tidak terdengar lagi berita tentang Pulau Bali selama kurang lebih 3 abad. Hal itu mungkin karena orang yang datang pada waktu itu dapat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang Bali Aga, atau mungkin catatan yang dibuat pada jaman itu belum diketemukan sampai sekarang. Akan tetapi catatan resmi di negeri Cina menunjukan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 Masehi ada utusan raja di Bali menghadap kepada raja di Cina, kemungkinan sejak waktu itulah uang kepeng beredar di Bali, sesudah raja-raja Bali mengadakan hubungan dengan kerajaan di Cina.

Pengaruh Siwa Buda Meluas di Bali.
Di dalam kitab sejarah Sunda, yang bernama Hikayat parahyangan, menyebutkan antara lain bahwa sebuah kerajaan kecil di Jawa Tengah yang bernama Kaling, lama kelamaan menjelma menjadi kerajaan besar. Kerajaan itu kemudian berubah namanya menjadi kerajaan Mataram, dengan ibu kotanya di Medang, seorang rajanya bernama Sanjaya yang mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi Nusantara bagian timur, beliau memuliakan agama Siwa, karenanya banyaklah candi-candi Siwa dibangun baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali. Kebesaran kerajaan di bawah raja Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di Desa Canggal di wilayah Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar yang bertahun saka 654 atau 732 Masehi.
Situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar

Setelah raja Sanjaya mangkat, kerajaan Mataram yang luas itu, dipimpin oleh salah seorang putranya yang bernama Pacapana, beliau mempergunakan gelar Rake Panangkaran, serta memuliakan agama Budha Mahayana, sehingga banyak candi-candi Budha yang beliau dirikan, diantaranya candi Borobudur yang dibangun kira-kira pada tahun 775 Masehi. Perkembangan agama Siwa-Budha di Jawa, sangat luas pengaruhnya di Bali, kemungkinan pada waktu itulah banyak pemuka agama yang disebut Rsi, Muni, Bhiksu, dan sebagainya, datang ke Bali.
Mereka mendirikan tempat pertapaan yang disebut dengan Wihara atau Bihara, yang hingga kini masih terdapat di daerah Gianyar, yakni di tebing sungai Pakerisan, yaitu Gunung Kawi terletak disebelah timur desa Tampaksiring, Kerobokan teletak pada pertemuan batang sungai Kerobokan, Goa Garbha terletak desebelah timur desa Patemon, dekat Pura Pangukur-ukuran. Di pinggir sungai Wos yaitu: Goa raksasa terletak dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat desa Ubud, Jukut Paku terletak diantara desa Nagari dan Singakerta dan Negari teletak di Nagari.
Di pinggir Sungai Kungkang ada Telaga Waja dekat Desa Sapat, lain dari pada wihara atau bihara seperti tersebut di atas terdapat pula tempat pertapaan lain yaitu: Goa Gajah di sebelah barat desa Bedulu, Yeh Pulu disebelah selatan desa Bedulu, Gunung Kawi di sebelah selatan desa Bitra. Di samping wihara yang merupakan tempat bertapa, juga didekat desa Riang Gede terdapat patilasan merupakan sebuah candi, petilasan tersebut disebut juga Goa Peminggi, yang tingginya lebih dari 10 meter, dan bentuknya sama dengan candi Kelebutan, yang terdapat disebelah barat desa Pejeng. Wihara tersebut dipungsikan sebagai tempat bertapa Siwa dan yang lainya adalah tempat pertapaan Budha, kedua golongan itu hidup berdampingan secara rukun, karena mereka percaya dengan adanya reinkarnasi, yang menyebutkan bahwa hidup itu adalah samsara. Menurut penelitian para ahli arkeologi, mereka berpendapat bahwa, wihara itu didirikan didalam abad ke 8.
Pendapat itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratus-ratus benda kuno disebelah selatan desa Pejeng yang terbuat dari tanah liat, bentuknya bulat kecil dengan bergaris tengah kurang lebih 2 cm, tiap 2 buah dibalut dengan tanah liat, bentuknya menyerupai stupa kecil. Sedangkan pada kedua belah permukaannya terdapat tulisan kuno yang berbunyi:
“jo dharma hetu prabhawa.
Hetun tesan tathagatho hiJawadat.
Tesancha yo nirodha.
Ewam wadi mahacramanah.
Menurut Dr R. Goris, bahasa Sanskerta tersebut berarti
“keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathagata (Budha), tuan maha tapa itu juga telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”

Tulisan itu berbentuk mantra dari ajaran Budha yang dapat menolak marabahaya, benda-benda tersebut diketemukan pada tahun 1925, dan kini sebagian tersimpan di museum kota Denpasar dan sebagian lagi tersimpan di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng. Rupanya Pejeng pada jaman kuno menjadi pemusatan agama Budha di Bali. Tulisan yang berbunyi serupa itu, terdapat juga di pintu candi Kalasan di Jawa Tengah, bertahun Isaka 700 atau 778 Masehi, hal itu memastikan bahwa didalam abad ke VIII pengaruh Siwa Budha meluas di Bali, merambah jauh ke pelosok-pelosok daerah, mulai dari daerah pesisir, daerah dataran, hingga daerah pegunungan yang sulit dijangkau.

Faham Siwa Budha yang berkembang ini membuat beberapa wilayah di Bali tengah semakin berkembang peradabannya, memuja sudah dilakukan secara terorganisir, dengan dipimpin oleh pemuka agama, Bersatunya dua faham layaknya seperti badan dengan roh, menjadi dua hal akan tetapi tidak bisa dipisahkan, mereka memakai simbol-simbol keagamaan dari kedua faham, Altar, Lingga, Yoni, Arca dewa dan bentuk-bentuk daerah suci yang dipagar dengan sangat sederhana.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close