PURA GEGER DALEM PEMUTIH

Pulau Bali memiliki banyak pura, tempat suci tersebut ada yang dikenal dengan pura Sad Kahyangan, Kahyangan Tiga dan juga pura Dang Kahyangan, seperti halnya pura Geger Dalem Pemutih, merupakan salah satu pura Dang Kahyangan di Bali, lokasinya di jalan Pura Geger, desa adat Peminge, Nusa Dua, Kuta Selatan, Kab. Badung Bali. Akses menuju lokasi sudah di hotmix, tepat di sebelah Selatan hotel Mulia, bahkan dari Pura Geger anda bisa mengakses objek wisata pantai Geger yang terletak di depan hotel Mulia. Jarak dari kota Denpasar sekitar 22 km, sedangkan jarak dari objek wisata populer Tanjung Benoa sekitar 8.5 km.

Pura Geger Dalem Pemutih berdiri tegak di atas tebing batu karang, kalau dari pantai Geger terlihat indah. Pura Geger berlatar belakang pemandangan alam laut, akan terlihat lebih cantik tatkala pagi hari, karena dari sini anda bisa menyaksikan keindahan alam sunrise. Di sebelah Utara pura Geger, terbentang pantai berpasir putih dengan air lautnya yang tenang, sedangkan di sebelah Selatan Pura menghadirkan pemandangan pantai dengan tebing-tebing karang cantik, bahkan di kawasan ini terdapat pura Beji tempat melukat yang masih berada dalam satu kawasan dengan pura Geger Dalem Pemutih.

Jika kita cermati tempat atau lokasi pura di Bali lebih banyak bertempat di pinggir pantai, di tengah hutan ataupun di wilayah pegunungan yang jauh dari jangkauan manusia dan keramaian. Tentu ada pertimbangan dari leluhur atau pendiri pura tersebut, pertama tentu karena tempat tersebut memiliki aura spiritual yang tinggi, tempat yang jauh dari keramaian akan terasa lebuh tenang, dan alasan lainnya mungkin karena tempat tersebut indah dan nyaman, sehingga pikiran bisa lebih bersih dan fresh, termasuk salah satunya adalah pura Geger Dalem Pemutih lokasinya di pinggir pantai di atas tebing karang, yang terlihat cantik dan mempesona.

Sejarah berdirinya dari pura Geger Dalem Pemutih, memang belum ditemukan secara pasti, tetapi menurut cerita setempat sejarah pura tersebut berkaitan dengan perjalanan suci yang Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra, sebelum perjalanan beliau sampai di Uluwatu beliau beristirahat sebentar di sini, keindahan dan ketenangan yang disuguhkan menjadikan beliau tertarik untuk menenangkan diri dan bersemadi di bawah sawo kecik, bahkan pohon sawo kecik tersebut masih tumbuh besar sampai sekarang ini, keberadaan pohon tersebut di madya mandala (halaman tengah) pura.

Keberadaan pura Geger Dalem Pemutih ini, memang tertera dalam babad Dalem Pemutih atau Dalem Petak Jingga, bahwa telah terjadi pembrontakan di kerajaan Gelgel pada tahun 1652 ISaka oleh petinggi kerajaan yaitu Dalem Petak Jingga yang dipicu adanya sengketa dengan Raja Gelgel yaitu Ida Dalem Made, yang akhirnya membuat Dalem Petak Jingga hengkang diiringi oleh ratusan prajurit dan sampailah perjalannya di sebuah karang enjung di tepi pantai Geger, di sinilah beliau beryoga samadi, disini beliau mendapat anugerah dan kelak akan menjadi raja besar. Beliau melanjutkan perjalanan dan sampai di alas Jimbar di sinilah Petak Jingga dan pengikutnya tinggal, lokasi tersebut sekarang bernama Jimbaran.

Pura Geger Dalem Pemutih, seperti namanya Dalem Pemutih, tempat ini sebagai stana Ida Batara Dalem Segara atau Ida Batara Dalem Pamutih, pelinggih beliau ada pada sisi Timur, pemujaan di di Pura Geger dikaitkan dengan kekuatan atau sifat tuhan yang berwarna putih dalam kekuatan Ista Dewata maka dewa Siwa ataupun Iswara dilambangkan dengan warna putih dan tak ternoda dan letaknya di sebelah Timur. Pura Geger Dalem Pemutih sebagai tempat untuk memohon kesuburan, keselamatan, kerahayuan serta untuk menggelar nangluk merana.

Di bagian Utama Mandala (bagian utama) pura Geger Dalem Pemutih, berdiri sejumlah pelinggih, diantaranya pelinggih Padmasana, di sebelah kanan Padmasana berdiri bangunan meru tumpang tiga sebagai stana Ida Batara Dalem Pamutih, sebelahnya lagi ada pelinggih gedong Pasadegan, dan sebelahnya ada Tugu Penyarikan sebagai stana Ida Dalem Gunung Raung yang diyakini sebagai pengabih Dang Hyang Dwijendra, di sebelah Barat Padmasana (sisi Utara) ada bangunan meru tumpang tiga tempat sungsungan warga dari Puri Satria.

Pada halaman tengah pura (madya mandala), pada sisi sebelah Timur tumbuh pohon Sawo Kecik yang rindang dan kokoh, yang dulunya sebagai tempat Dang Hyang Nirartha melakukan samadi, di tempat ini sekarang didirikan pelingguh berupa tugu sebagai tempat memuja Ida Batara Ratu Gde Panataran dalem Ped Nusa Penida. Piodalan atau Pujawali di Pura Geger Dalem Pemutih saat Purnama Keenem Panglong apisan (sehari sebelum purnama). Pura ini diempon oleh dua Banjar Peminge dan Sawangan. Di Pura Geger Dalem Pemutih setiap hari ada Pemangku yang memimpin persembahyangan anda.

Sekitar 100 meter sebelah Selatan dari Pura Geger Dalem Pemutih, terdapat beji yang letaknya di pinggir pantai, pura beji tersebut tersembunyi di antara bebatuan karang, sebagai tanda dari Pura terlihat ada dua buah tudung (payung) putih kuning di atas batu karang, di sini terdapat pelinggih di atas batu karang, ada patung Ganesha dan juga Lingga-Yoni. Dengan keberadaan Lingga-Yoni sebagai simbol purusa pradana, lambang kesuburan, sehingga tempat ini dipercaya juga untuk memohon anak atau keturunan.

Dari areal pelinggih ini, ada lorong yang tembus ke pantai, pantainya tidak begitu luas, berpasir putih dan menyuguhkan keindahan alam laut yang tenang dan damai, dari lorong ini juga sebenarnya akses menuju mata air tawar yang keluar dari bebatuan karang. Mata air (kelebutan) tersebutlah sebagai tempat melukat, namun pada pagi hari mata air di beji pura Batu Pageh ini akan tertutup oleh air laut, sehingga tidak bisa ditemukan, tetapi biasanya pada sore hari, saat air laut surut maka anda bisa menemukannya, apalagi sehari atau dua hari setelah bulan mati (Tilem), maka kemungkinan besar anda bisa menemukan mata air tawar tersebut.

Pura Geger Dalem Pemutih dengan keberadaan beji tersebut menjadi tambah lengkap, banyak pemedek yang tangkil dengan tujuan melukat dan bersembahyang ke pura, pada saat-saat hari raya suci seperti hari Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Banyupinaruh akan banyak pemedek yang datang ke Pura ini, apalagi dengan keberadaan Lingga-Yoni menambah keyakinan warga untuk mendekatkan diri keada Tuhan.

Pura Geger terdiri dari beji, palinggih Ida Danghyang Dwijendra, Ida Dalem Pamutih, Ida Batara Simpang Dalem Nusa, tempat stana macan dan monyet putih. Sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat pernah ke pura tersebut untuk malukat dan memohon mendapatkan keturunan.

Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. “Saban Puranama-Tilem orang-orang berdatangan ke pura sejak pagi,” tutur warga Desa Geger, Pan Mira. Pura Geger Dalem Pamutih, begitulah nama tempat suci berpagar tembok pasir hitam tersebut. Saat itu, bertepatan dengan Purnama Karo (Purnama pada bulan kedua dalam kalender Bali). Ini memang merupakan hari yang banyak dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil) ke tempat suci ini.

Mereka tak terbatas warga sekitar kawasan Nusa Dua. Banyak pula pamedek luar Kelurahan Bualu, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Tabanan, Gianyar, bahkan juga dari luar Bali. “Kepadatan mulai terasa,” kata Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, “ketika dibuka akses jalan menuju ke pura, sekitar tahun 1990-an.”

Pura Geger kini memang menjadi ‘incaran’ masyarakat dari berbagai lapisan. Ketika isu bencana alam merebak dan meresahkan relung sanubari penduduk Indonesia, termasuk Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga menggelar upacara pakelem sebagai sarana memohon keselamatan di kawasan tempat suci ini. Pakelem itu digelar bertepatan dengan Tilem Kasada (bulan ke-12), bulan gelap terakhir di penghujung tahun dalam sistem kalender Bali, Minggu Pon wuku Tambir, 25 Juni 2006. Tengah malam, usai digelar upacara pakelem itu, Bali sempat digoyang gempa kecil—menyusul guncangan dahsyat yang menelan ribuan korban jiwa manusia maupun material, sebulan sebelumnya di Yogyakarta. Tak urung banyak yang mengira-ngira, andai pakelem itu telat dilabuhkan ke tengah samudera, bukan mustahil Bali bernasib lebih parah ketimbang Yogya dan sekitarnya. Di kalangan internasional memang ada yang suka mengutak-atik deretan angka enam sebagai isyarat musibah dahsyat. Kebetulan sehari usai pakelem tersebut digelar kalender Gregorian atau Masehi yang berlaku internasional itu memang menunjukkan deretan angka enam: 26-06-2006. “Saya dapat bisikan gaib Ida Batara, jika pakelem telat dilakukan, Bali bisa habis dilanda bencana pukul 06.00 tanggal 26 bulan 6 tahun 2006,” tutur Men Bukit, wanita sederhana yang kerap ngayah di Pura Geger. Banyak penekun spiritual layaknya Men Bukit: meyakini posisi Pura Geger Dalem Pamutih secara niskala begitu sentral sebagai basis pertahanan ujung selatan Bali. Pura di kaki Pulau Bali ini disebut-sebut satu poros dengan Pura Agung Besakih di lambung Gunung Agung di sisi utara dan Pura Panataran Ped, Nusa Penida, di sisi timurnya. Secara kasat mata Pura Geger ini memang membentuk segitiga tegak lurus dengan puncak Gunung Agung dan daratan Pulau Nusa Penida. Toh, tak mudah menemukan rujukan data otentik formal cikal bakal pendirian Pura Geger Dalem Pamutih ini. Warga sekitar mengira-ngira pura ini semula dibangun masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.
Adalah lazim di Bali kelompok masyarakat yang menggeluti profesi utama tak lupa pula menstanakan Tuhan dalam berbagai manifestasi. Dari alur pemikiran demikian akhirnya di Bali ada pura swagina, tempat pemujaan yang berkaitan dengan profesi. Pura Rambut Siwi atau Bedugul, misalnya, dikelola para petani buat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewi Uma atau Dewi Sri; Pura Melanting bagi para pedagang memuja Dewi Laksmi atau Rambut Sadana; lalu ada Pura Segara bagi para nelayan memuja Dewa Baruna atau Rudra, kekuatan Tuhan sebagai penguasa samudera.

Tujuan pendirian tempat suci jenis ini jelas dalam kaitan mohon kepada manifestasi Tuhan, agar dalam menjalankan kegiatan diberikan keselamatan, berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, menggelar nangluk marana, sekaligus mengupayakan pamahayu jagat. Demikian halnya dengan keberadaan Pura Geger yang dari semula difungsikan sebagai tempat mohon kerahayuan.

Itu terbukti dari adanya satu bangunan suci (palinggih) yang berada di sisi timur, sebagai stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Gedong tersebut, pada pemugaran sekitar tahun 1990-an, diganti dengan meru tumpang tiga. Sebutan Dalem Pamutih di sini cukup mengasosiasikan ingatan kepada sifat Tuhan Yang Mahasuci, Mahabenar secara tradisi disimbolikkan dengan warna putih, tiada ternoda. Siwa atau Iswara sebagai kekuatan terpuncak juga kerap diperlambangkan berwarna putih bersih, tiada bernoda.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close