PURA LUHUR PETITENGET

Tengetnya Pura Petitenget
Salah satu Pura Dhang Kahyangan yang berada di Kabupaten Badung adalah Pura Petitenget. Pura ini terletak di Banjar Batu Belig, Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Pura yang ada hubungannya dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra ini di-empon oleh 50 banjar adat se-Desa Adat Kerobokan, Badung. Kenapa disebut Pura Petitenget?

Kata Peti Tenget berarti Peti yang sakral atau angker. Peti tersebut merupakan pecanangan Dang Hyang Dwijendra.

Pura Petitenget berlokasi di tempat strategis, tak jauh dari pinggir Pantai Petitenget, pantai yang berpasir putih. Di jaba sisi terdapat tempat parkir yang cukup luas. Memasuki areal pura, pemedek melewati jalan di sebelah selatan pura dan keluar melalui jalan utara pura. Di halaman terluar pura berdiri wantilan yang cukup besar.

Memasuki madya mandala pura, pemedek melewati apit surang dengan beberapa anak tangga. Pura Petitenget berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung, berdiri dalam sebuah areal. Pura Petitenget berada di sebelah utara, sedangkan Pura Masceti berdiri di selatan. Untuk bisa sampai ke utama mandala, pemedek mesti melewati apit surang. Masing-masing pura memiliki apit surang menghadap ke barat. Sedangkan menuju utama mandala, pemedek melewati kori agung. Kedua pura ini tampak asri dan bersih, di depannya ditumbuhi pohon yang cukup rimbun.

Dhanghyang Dwijendra mengiring Bhatara Masceti bercengkrama di daerah pantai, tiada berapa lama karena kesaktian Bhatara Masceti telah sampai di pulau Serangan bagian barat lautnya.

Di sana beliau bercakap-cakap soal Ketuhanan. Kemudian ada orang melihat cahaya cemerlang merah dan kuning. Lalu menyelidiki. Didapati Empu Danghyang bercakap-cakap dengan orang tidak kelihatan nyata.

Maka ia memberanikan diri bertanya, “Tuan pendeta, maafkan saya bertanya, siapakah tuan hamba datang ke daerah kami?”. “Bapa Pedanda Sakti Bahu Rawuh,” jawab Danghyang. “Bapa ke mari mengiring Bhatara Masceti bercengkrama, dulu bapak telah pernah ke mari”. “Kami menghaturkan selamat datang,” kata orang Serangan. “Silakan tuan hamba berdua diam di sini, kami orang-orang Serangan akan nyungsung (memuja) Sesuhunan (junjungan)”. “Baiklah,” jawab Danghyang. “Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung (dipuja) oleh jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau bapak iring sampai ke mari!”

Orang Serangan itu menyembah dan berjanji menuruti nasehat Danghyang. Empu Danghyang bersama Bhatara Masceti pergi dari Serangan melanjutkan cengkramanya, tiba-tiba telah sampai di pantai laut Kerobokan. Dari sana dilihat oleh Empu Danghyang Tanjung Hulu Watu sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju tepi langit dan terus ke sorga. Bhatara Masceti memaklumi pikiran Danghyang Nirartha demikian. Lalu berkata, “Danghyang maaf saya mohon diri di sini, tidak boleh orang ngeluhur (pergi ke sorga)”, demikian katanya lalu menggaib.

Danghyang Nirartha berjalan akan menuju Hulu Watu, pecanangannya (tempat sirih) diletakkan. Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semak-semak karena takut melihat perbawa Danghyang yang suci. Danghyang memanggil, “Hai Bhuto Hijo kemari, jangan bersembunyi, jangan takut !”. Bhuto Hijo datang menghadap, duduk menundukkan kepala. Danghyang berkata, “Bhuto Hijo, sekarang engkau aku beri tugas menjaga pecananganku ini, kalau ada yang hendak merusak engkau melawan!”. Bhuto Hijo menyembah menjunjung titah Danghyang katanya, “Hamba mohon pasikepan, senjata untuk menjaga!”.

Danghyang lalu memberi suatu mantram yang sakti, kemudian berkata pula, “Sekarang engkau sudah sakti, engkau jangan lalai menjaga dan nengetang (mengsakralkankan) pecananganku ini. Kini aku memberi nama tegal ini yaitu Tegal Peti Tenget”.

Danghyang Nirartha terus pergi ke Hulu Watu ke tempat kahyangan yang dibuatnya dulu. Setelah tiba di sana tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi hening dan suci, menonjol di atas air laut, pemandangan indah ke seluruh permukaan laut yang dibatasi oleh tepi langit. Di sana beliau menetap seorang diri mengheningkan cipta, menanti panggilan Tuhan untuk ngeluhur, beliau tidak mau memaksakan diri sebelum saatnya tiba.

Pada suatu hari datang Kelihan (kepala desa) Kerobokan bersama beberapa orang kawannya menghadap Empu Danghyang. Setelah duduk menyembah, Danghyang bersabda, “Siapakah engkau ini, ada kepentingan apa kepada bapa?”. Kelihan Kerobokan menjawab, “Singgih sesuhunan, kami ini orang mendapat kesusahan hebat; di daerah kami di tepi pantai ada sebuah tegal, baru sekarang sangat angker sekali, tiap-tiap orang yang datang kesana mencari sesuatu untuk kepentingan hidup, sekembalinya mesti sakit keras dan susah diobati. Telah banyak yang mengalami hal demikian. Beberapa dukun tidak dapat mengobatinya. Kemudian kami dengar sesuhunan ada di sini, sebab itu kami memberanikan diri menghadap untuk mohon urip”.

Belum selesai aturnya lalu Danghyang menjawab, “O, ya, pecanangan bapa ada di sana bapa taruh karena tidak perlu lagi.
Ki Bhuto Hijo menjaganya dan menengetkannya. Siapa saja yang datang ke sana merusak sesuatu, tentu Ki Bhuto Hijo yang menyakiti. Coba sekarang usahakan membangun sebuah kahyangan di sana pelinggih Bhatara Masceti. Bapak dulu dapat mengiring baliau bercengkrama, mula-mulanya ke Sakenan kemudian ke Kerobokan, sampai di sana beliau menggaib. Peti pecanangan bapa di sana bapa taruh dijaga oleh Ki Bhuto Hijo, ia yang nengetang, bapak namai Peti Tenget. Itulah sungsung di sana tempat memuja Tuhan untuk mohon kesejahteraan desa. Tiap-tiap kali terutama pada hari puja wali, berilah Ki Bhuto Hijo cecaron, nasi segehan atanding (korban kecil satu porsi), ikannya jejeron (jeroan) babi mentah, segehan agung, lengkap upakaranya tetabuh tuak arak.Tentu ia tidak menyakiti lagi, bahkan disayang dan dibantu sembarang kerja”.

Kelihan Kerobokan menuruti nasehat Danghyang Nirartha demikian. Kemudian di sana dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Peti Tenget. Semenjak itu Desa Kerobokan selamat sejahtera diberkahi oleh Bhatara Masceti dan Bhatara Sakti Bahu Rawuh atas kehendak Tuhan.

Pecanangan atau peti yang disakralkan tersebut berstana di gedong yang terdapat di jroan pura.

“Namun, peti tersebut sudah mengaib atau menghilang wujud fisiknya, tetapi secara niskala masih ada,” ujar Mangku Gede.

Hingga kini, terdapat tiga pura di lingkungan Pura Petitenget. Pertama adalah Pura Masceti yang merupakan panyawangan Ida Bhatara Masceti, Palinggih Ki Buto Ijo yang berada di madya mandala pura, dan panyawangan Dang Hyang Dwijendra yang terdapat di jeroan pura. Piodalan di pura ini menggunakan perhitungan pawukon atau enam bulan sekali dalam perhitungan kalender Bali. Tepatnya pada Rabu Wage Wuku Merakih. Hingga kini, Pura Petitenget diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan Pura Masceti.

“Ada yang mengatakan Pura Masceti sebagai pradana, dan Pura Petitenget sebagai purusa,” tutup Mangku Gede

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close