PURA GEDE PERANCAK

PURA GEDE PERANCAK

Lwir Bhatara Siwa magawe jagat. Brahma rupa siran panresti.
Wisnu rupa siran pangraksa ng jagat. Rudra rupanira, mralayaken rat, nahan ta awak niran tiga bheda nama. (Bhuwanakosa III. 76).

Maksudnya: Tuhan Siwa menciptakan alam semesta (jagat) ini. Sebagai Dewa Brahma, beliau menciptakan jagat. Sebagai Dewa Wisnu wujud beliau melindungi jagat dan sebagai Dewa Rudra wujudnya beliau saat memralina.

MENURUT keyakinan Hindu, Tuhan itu mahaesa dan mahakuasa. Salah satu kemahakuasaan Tuhan adalah sebagai maha pencipta, sebagai maha pelindung dan juga dapat melakukan pralina pada semua ciptaan-Nya untuk kembali pada asalnya. Demikian juga manusia memuja Tuhan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Hidup yang sejahtera itu adalah hidup untuk menciptakan yang sepatutnya diciptakan. Melindungi dan meniadakan sesuatu yang sepatutnya dilindungi dan ditiadakan. Menciptakan, melindungi dan meniadakan itu disebut utpati, stithi dan pralina. Pemujaan pada Tuhan justru akan berpahala terbalik apabila Tuhan dipuja dengan cara-cara pemaksaan.

Demikian juga dengan keberadaan Pura Perancak (Purancak) di Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Perkembangan pura tersebut ada kaitannya dengan upaya penguasa zaman dulu untuk memaksakan Danghyang Dwijendra melakukan pemujaan di Pura Purancak.

Dalam Dwijendra Tattwa yang disusun I Gst. Bagus Sugriwa diceritakan Danghyang Dwijendra ke Bali dari Jawa Timur melalui daerah Jembrana. Demikian pula menurut Mangku Gede Nyoman Sadra (65), pemangku di Pura Dang Kahyangan ini, berdirinya pura tersebut berkaitan dengan kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali. Hanya, tahun berapa kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali tidak bisa dipastikan. Perkiraan yang sering dipakai adalah sekitar tahun 1015. Catatan sejarah yang bisa membuktikan ini pun belum ada. Ketika Danghyang Dwijendra moksa semua lontar mengenainya juga ikut moksa. Siapa pun pun tidak berani memberi kepastian kapan sebenarnya Beliau tiba untuk pertama kalinya di Perancak ini.

Saat tiba pertama kali di desa Jembrana Pinggir Pantai (sebutan Perancak zaman dulu), Danghyang Dwijendra mengajak istrinya Ida Ayu Mas Keniten dan tujuh putranya. Mereka datang dari tanah Blambangan, Jawa. Sesampai di Jembrana Pinggir Pantai, Danghyang Dwijendra bertemu I Gusti Ngurah Rangsasa di Pura Usang, sebuah Pura Alit yang ada di tepi pantai. Ngurah Rangsasa yang mengemban Pura Usang memaksa Danghyang Dwijendra untuk sembahyang. Jika tidak, bahaya akan mengancam Danghyang Dwijendra dan keluarga. Awalnya, Danghyang Dwijendra menolak. Namun karena terus dipaksa akhirnya bersedia. Karena atas perintah pemegang kekuasaan, Danghyang Dwijendra pun terpaksa menyembah di pura tersebut. Menyembah atas pemaksaan itu tentunya menimbulkan vibrasi buruk di pura tersebut. Ketika Danghyang Dwijendra me-mona dan meneng untuk bersemadi, pura tersebut roboh dan encak (hancur). Melihat keajaiban itu, I Gusti Ngurah Rangsasa menjadi takut dan melarikan diri. Dia lari ke arah utara hingga di Sawe. Sampai menemui ajalnya, dia berada di Sawe. Hingga kini daerah tersebut dikenal dengan nama Sawe Rangsasa. Pemangku Pura tersebut memohon maaf atas kelancangan I Gusti Ngurah Rangsasa. Pemangku mohon agar Danghyang Dwijendra dapat kiranya mengembalikan keadaan pura tersebut seperti sedia kala. Atas anugerah Tuhan, Danghyang Dwijendra berhasil mengembalikan keadaan pura seperti sediakala dan kemudian melanjutkan perjalanan. Lama-kelamaan pura tersebut dikenal dengan nama Pura Encak atau Purancak atau Perancak. Di pura inilah umat Hindu melakukan pemujaan untuk Danghyang Dwijendra. Piodalan di pura ini dilaksanakan setiap Budamanis Anggarkasih Medangsia.

Di Pura Perancak terdapat pelinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana Danghyang Dwijendra. Di sebelah kiri Meru ada pelinggih Gedong, stana roh suci I Gusti Ngurah Rangsasa.

Yang patut diperhatikan dari Pura Perancak ini adalah keberadaan pelinggih roh suci I Gusti Ngurah Rangsasa dan pelinggih Danghyang Dwijendra. Awal cerita I Gusti Ngurah Rangsasa itu memaksa orang untuk menyembah di puranya termasuk Danghyang Dwijendra. Hal itu sampai menimbulkan perselisihan dan bencana bagi pura yang kemudian bernama Pura Perancak. Setelah pura itu kembali seperti sedia kala perselisihan itu tidak dilanjutkan oleh para penyungsungnya. Justru dalam perkembangannya kedua roh sucinya dipuja dan distanakan dalam dua pelinggih yang berdampingan.
Lokasi Purancak kira-kira I0 km Barat Daya Desa Tegalcangkring, termasuk wilayah Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Dari Kota Denpasar menempuh jarak 96 km mengikuti jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk. Purancak adalah bagian dari Selatan Bali Barat. Pada ujung barat Desa Purancak terdapat sebuah pura yang bernama pura Purancak. Pura menghadap ke arah barat dengan panorama sungai Purancak yang panjang dan lebar merupakan daya tarik yang kuat. Air sungai sangat tenang seperti kolam, dan di seberang sungai tampak perladangan yang ditumbuhi pohon-pohon pantai yang berjajar.Kurang lebih 250 meter di sebelah selatan Pura Purancak terbentang lautan yang membiru, dan di kejauhan seberang lautan tampak gugusan pulau Jawa bagian timur. Sementara di sebelah kanan muara sungai kelihatan rumah-rumah tradisional yang menjorok ke laut disertai dengan deretan pohon-pohon kelapa melambai-lambai karena tiupan angin laut. Suasana yang demikian merupakan panorama yang indah dan menarik.
Sumur Baja
Salah satu tempat yang juga tidak bisa dipisahkan dari Pura Dang Kahyangan Gede Perancak adalah sumur baja, berjarak sekitar 250 meter di barat pura. Menurut Mangku Gede Nyoman Sadra, sumur ini sudah ada sejak zaman dulu. Pengelingsir atau sesepuh dari keluarga Mangku Gede pun tidak tahu persis kapan sumur ini dibuat. Dari keterangan lisan yang diperoleh, sumur ini dibuat oleh orang-orang Baja, Sulawesi. Ketika itu mereka datang ke Bali untuk berjualan pamor (gamping), garam dan sebagainya. Para pedagang ini berlabuh di pantai Perancak. Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka membuat sumur. Anehnya, walaupun berada di pinggir pantai, air sumur ini tawar. ”Dibanding sumur-sumur warga Perancak, air di sumur Baja ini yang paling tawar,” ujar Mangku Gede. Dia menambahkan, jarak antara sumur dengan pantai hanya beberapa meter. Di sumur ini juga berdiri sebuah padma tempat menghaturkan sesajen. Kegunaan lain dari sumur ini adalah sebagai pasucian Ida Batara pada saat piodalan. Karena itulah, warga sekitar pura menyebut sumur ini semer beji. Hal lain yang menjadi ciri khas Pura Dang Kahyangan ini adalah pantangan bagi orang hamil dan larangan membawa mayat lewat di depan pura. ”Dari dulu sudah kepingit begitu. Warga juga mempercayainya,” kata mangku yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan ini. Jika ada warga Perancak yang hamil dan tinggal di barat pura, yang bersangkutan akan memilih jalan memutar melalui jalan selatan. Demikian pula jika yang hamil tinggal di timur pura, jalan dipilih juga jalan di sebelah selatan. Mereka tidak berani melanggar pantangan yang sudah dipercayai turun-temurun tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi warga yang meninggal. Warga di barat pura tidak akan mengusung mayat melewati jalan di depan pura. Mereka mempergunakan jalan di selatan untuk menuju setra.

BUAYA DWE- BUAYA PENJAGA PURA
Dulu, ada sangat banyak buaya diperancak-berjumlah ribuan. Tetapi sekitar tahun 1958, seorang pemburu dari Bugis dating dan mengambil buaya-buaya tersebut. Semua buaya ditangkap dan sekarang benar-benar sudah punah. Saat ini,hanya ada buaya niskala yang kadang-kadang bisa terlihat. Buaya yang dipercaya masyarakat Perancak. Pintu masuk bagian dalam Pura Perancak dijaga oleh dua patung buaya-satu berwarna hitam adalah buaya jantan dan satunya lagi berwarna kuning adalah betina yang menjaga ruang sacral di dalam pura. Disamping dua buaya penjaga pura,ada juga harimau yang menjaga tempat tersebut. Ada masyarakat yang bisa mendengar auman harimau ketika bersembahyang. Suatu ketika, Pak Kirtha menceritakan, ketika ia bersembahnyang di pura bersama ayahnya, ia mendengar suara auman harimau. Suara tersebut membuat Pak Kirtha ketakutan. Pak khirta belum pernah melihat buaya niskala. Tetapi beberapa orang pernah melihatnya. Buaya-buaya penjaga tersebut kadang-kadang terlihat ketika piodalan pura. Mangku Sandra, salah seorang pemangku di Pura Perancak malah pernah meihat langsung buaya dan harimau tersebut melintas didepannya saat beliau bermeditasi. Selain sepasang buaya hitam dan kuning, kadan ada satu buaya berwarna putih yang juga terlihat. Buaya putih kerap muncul dalam bentuk sampan ketika para perempuan pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

MAKAM KERAMAT
Sebuah makam keramat berdiri di bagian utara Desa Perancak. Satu pembunuhan terjadi ditempat tersebut ketika jembrana masih berbentuk kerajaan. Pada saat itu, seorang delegasi dikirim oleh Raja Jawa dan Madura untuk membawa selembar kain Geringsing Wayang yang sacral sebagai hadiah ke salah satu dari dua Raja Jembrana. Hadiah dari Solo tersebut ditunjukan untuk Raja di Utara. Tetapi para utusan dari Solo ditipu,sehingga pergi ke kerajaan Raja Selatan dan ditangkap oleh seorang patih yang sangat berambisi memiliki Geringsing Wayang untuk dirinya sendiri. Para utusan dibunuh ditempat makam keramat yang berada saat ini, agar si pencuri tidak bisa ditemukan. Tetapi lama ke lamaan setelah penyakit secara beruntun menyerang keluarga Kerajaan Jembrana Selatan, mereka meminta petunjuk pada balian. Peristiwa tragis yang terjadi memberikan pelajaran pada mereka tentang utang jiwa (mautang urip), sebagai tanggung jawab sampai saat ini. Sebuah pemakaman megah kemudian dibangun pada lokasi terjadinya pembunuhan terhadap para utusan di Perancak tahun 1800-an, dan untuk saat ini upacara dilakukan dilokasi tersebut sebagai penebusan dosa.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close