PURA GOA GONG atau PURA GUNUNG KULKUL

Pura Goa Gong merupakan salah satu pura yang memiliki keunikan yang ada di Bali yang tepatnya terletak di Bukit Jimbaran,Kuta-Badung.Pura Goa Gong dilihat dari tata letaknya berada di lingkungan Banjar Batu Mongkong, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta, kabupaten Badung, dari wujud luarnya/ fisik pura ini menampakan wajah yang sangat sederhana namun sangat angker. Di lingkungan pura ini terdapat sebuah taman yang sering disebut dengan Taman Peteng, taman ini dihuni oleh dua ekor ular besar (naga) yang berwarna kuning dan merah yang merupakan ratu dan rajanya wong samar. Keunikan dari pura ini, selain titisan air yang terus mengalir dari bebatuan tanpa ada pasang surutnya, ditempat ini tidak diperkenankan melakukan membhakti upacara setiap hari Rabu. Bahkan sekalipun ada hari-hari persembahyangan yang jatuhnya tepat pada hari itu. “Sebenarnya bukan melarang, tetapi lebih tepatnya menghormati sejarahnya maha rsi Dhangyang Niratha yang kebetulan pada saat beliau beryoga di tempat ini jatuhnya pada hari Rabu ,” terang Mangku Alit.

Secara pasti belum ada literatur yang menjelaskan kapan keberadaan pura ini, sebagian masyarakat hanya memperkirakan sudah ada sebelum dibangunnya Pura Besakih. Mengingat Pura ini ada dari zaman masa keberadaan Maha Rsi Dhangyang Niratha atau yang sering disebut Pedanda Sakti Wawu Rauh

Konon ceritanya, Ketika Dang Hyang Nirartha melaksanakan yoga semadi di Pura Uluwatu, dan ketika beliau sedang menulis huruf-huruf suci pada beberapa batu yang akan dipakai dasar untuk pembangunan tempa suci ini (Uluwatu) terdengar suara gong yang angalun-alun datang dari kejauhan yaitu, arah timur laut (kaja kangin). Suara gong yang demikian halus, merdu, angalun-alun seolah-olah memanggil agar beliau segera mendekati suara gong itu. Keinginan untuk segera meneliti, mendekati, mencari sumber suara gong itu sangatlah menggoda, akhirnya beliau putuskan untuk mencari sumber suara gong itu. Dengan berjalan kaki menuju arah timur laut melewati hutan dan tegalan, beliau mendekati suara gong itu. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan dua ekor ular besar (naga) yang berwarna kuning dan yang satu lagi berwarna merah. Dua ekor naga merupakan ratu dan rajanya gamang (wong samar). Naga itu melintang di tengah jalan, seolah-olah ingin menghalangi perjalanan Dang Hyang Niratha untuk menuju suara gong itu. Dang Hyang Nirartha lalu bertanya kepada kedua ekor naga.

“…. Wahai engkau Naga, mengapa engkau tidur melintang di tengah jalan, dan seolah-olah ingin menghalangi perjalanan Bapak yang akan mencari sumber suara gong yang sangat menggoda itu…”
Naga lalu menjawab.

“….. ratu…ratu pedanda, bertahun-tahun kami berdua sudah meyasa (bersemadi -red) di sini, menyiksa diri dengan menjemur di tengah teriknya sinar matahari, kehujanan tatkala musin hujan, serta menahan lapar dan haus untuk memenuhi keinginan kami berdua agar bisa ke Sunya Loka. Namun demikian, sampai sekarang belum ada Bhatara yang tedun (turun -red) untuk nyupat (membebaskan – red) kami. Kami megijinkan Ratu Pedanda untuk lewat dan melintasi jalan ini, namun kami mohon kepada Ratu Pedanda agar sudi kiranya nyupat titiang agar bisa segera ke Sunya Loka….”

Dang Hyang Nirartha lalu berkata.
“…. Pedanda mau nyupat kamu berdua agar roh/atman kamu bisa segera ke Sunya Loka, sedangkan badan wadag kamu agar senantiasa menjaga taman yang aku buat nanti di tempat ini’’” setelah disetujui oleh kedua ekor naga itu, akhirnya Ida Pedanda mengucapkan mantra saktinya, serta nyupat kedua naga itu. Di tempat itu kemudian didirikan taman (Goa Peteng).

Dang Hyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanan beliau menuju suara gong , kira-kira 40 meter dari lokasi naga tadi beliau menemukan sebuah goa dan setelah didekati suara gong tadi seketika berhenti (gong tan pa suara). Beliau kemudian masuk ke dalam goa, dan duduk di atas sebuah batu (lempeh) di lokasi ini kemudian beliau melakukan yoga (mayoga). Di tempat ini kemudian muncul sumber air yang sangat suci bagaikan air sungai gangga yang berwarna-warni. Selama beliau melakukan yoga ternyata banyak sekali (hampir ribuan) para gamang, wong samar mendatangi beliau untuk mohon, panglukatan dan penyupatan tan pagering, dan beliupun berkenan memberikan penyupatan, namun keberhasilan penyupatan itu sangat tergantung dari karmanya masing-masing. Beliaupun akhirnya minta bantuan kepada para wong samar, gamang agar membantu membuat parhyangan di Pura Uluwatu, dan secara tulus iklas para wong samar, gamang yang jumlahnya ribuan itu menyanggupi untuk membantu Dang Hyang Nirartha membangun Pura Luhur Uluwatu yang sangat kita sucikan itu.

Di pura ini adalah tempat pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang tak lain adalah Dang Hyang Nirartha sendiri. Uniknya, selain palinggih utama ada beberapa palinggih yang juga di puja di Pura Goa Gong, yaitu palinggih Dewi Kwan Im dan palinggih Ratu Mas Manik Subandar. Lantaran itu pula, pura ini juga dikunjungi oleh sebagaian besar umat Budha. Hal ini didasari karena Dang Hyang Dwijendra merupakan penganut paham Siwa Budha.

Sehingga, tak jarang kita jumpai pada hari besar umat Budha, banyak masyarakat non Hindu, khususnya Budha tangkil ke pura ini. Di lingkungan pura ini terdapat banyak palinggih yang merupakan ancangan Ida Bhatara di Pura Goa Gong. Sebagian besar yang berstana di sana adalah para wong samar. Karenanya, kawasan ini sangat kental dengan aura magis dan angker.

Pada tebing-tebing Goa Gong, pada stalatit tebing menetes air suci yang digunakan untuk air tirta, pemangku pura tidak pernah membawa air dari rumahnya untuk dijadikan tirta. Air yang menetes ini memang gaib, kalau kita teliti disekitar goa, di atas goa terhampar perbukitan tanah kapur yang kering. Nah….. dari manakah datangnya air ini? inilah gaib, inilah misteri yang akan sulit di rasionalkan. Pemangku pura tidak pernah membawa air dari rumahnnya untuk dijadikan tirta, jadi tirta di pura ini hanya menghandalkan air yang menetes dari diding-dinding kapur pura tersebut. Air tirta ini memang sangat berkasiat, banyak penyakit yang pernah disembuhkan setelah meminum air tirta ini. Ada seorang sulinggih yang kehilangan mantramnya karena tidak bisa lagi ngomong, atau kehilangan suara (bisu). Namun, setelah nunas ica di pura ini dan meminum air suci yang ada di pura ini, secara berlahan-lahan menemukan lagi suara dan mantramnya, dan tentunnya banyak lagi cerita yang bisa digali dari khasiat air tirta di pura Goa Gong ini.

Suara Gong. Biasanya gong ini bersuara ketika hari piodalan, namun perlu diingat bahwa tidak setiap piodalan gong ini bersuara. Suara Gong ini memang penuh dengan tanda-tanda gaib dan misteri. Gong yang berasal dari sebuah batu besar ternyata bisa mengeluarkan suara yang sangat halus, angalun-alun dan terdengar sampai radius lima kilometer. Secara logika dan rasional itu tidak mungkin, bagaimana sebuah batu bisa mengeluarkan suara persisnya seperti suara gong, siapa yang memukul, bagaimana caranya memukul dan serentetan pertanyaan rasional yang tidak mungkin dijawab.

Piodalan di pura Goa Gong jatuh setiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan pawukon (210 hari), tepatnya pada Senen Pon wuku Sinta yang lazim disebut Coma Ribek
Di samping upacara piodalan yang secara rutin telah dilakukan setiap enam bulan sekali, upacara-upacara panyabran seperti, Purnama, Tilem, Kliwon dan lain-lain juga senantiasa dilaksanakan di pura ini. Proses upacara piodalan dan upacara-upacara panyabran lainnya sepenuhnya dilaksanakan oleh pemangku pura Goa Gong dibantu oleh hanya para keluarga pemangku

Pemangku Pura Goa Gong beserta keluargannya adalah merupakan pengempon Pura. Hal ini sudah dijalankan secara turun tumurun. Sebagai pengempon mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pembangunan, pemeliharaan fisik maupun yang non fisik. Demikian juga biaya dan pelaksanaan upacara di pura sepenuhnnya diusahakan oleh keluarga pemangku sendiri. Sumber-sumber dana hanya terbatas pada sesari, dana punia para pemedek yang tangkil ke pura dengan jumlah dana yang sangat terbatas. Keterbatasan dalam hal dana dan pengempon menyebabkan di Pura ini belum pernah dilaksankan upacara besar, dan upacara yang dilakukan hanya terbatas upacara piodalan rutin setiap enam bulan sekali. Penampilan fisik Pura ini mamang terkesan sangat sederhana, namun dibalik itu pura ini mengandung kekuatan spiritual dan kesucian yang sangat mendalam dan tinggi.

Untuk menuju ke pura Goa Gong, dari pertigaan kampus bukit jimbaran ambil arah menuju Selatan. Kurang lebih berjarak 3 km dari kampus bukit sudah terpampang dua buah patung macan yang berada di depan pintu gerbang masuk halaman parkiran Goa Gong. Bagi sebagian masyarakat di Bukit Jimbaran Goa ini bukan asing lagi, dan diyakini sebagai tempat untuk memohon kesembuhan bilamana ada yang sakit tak kunjung disembuhkan.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close