PURA LUHUR JAGASATRU

PURA LUHUR JAGASATRU

Pura Muncaksari di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan, tentu sudah banyak yang tahu, akan tetapi Pura Jagasatru sangat jarang yang kenal padahal lokasinya tidak jauh dari Pura muncak sari. Untuk menuju lokasi Pura Jagasatru jalan terdekat harus melalui Pura Muncaksari, kira-kira 800 meter tepatnya arah Timur laut dari Pura Muncaksari. Jalanan yang dilalui masih jalan setapak berliku, ditengah hutan kalo musim hujan agak licin dan becek.

Nama Jagasatru asalnya adalah Nagasatru yang merupakan “Pesengan” dari sesuhunan yang dipuja di Pura tersebut. Pura ini pertama kali ditemukan oleh warga desa Wongaya gede yang berniat membuka lahan di hutan di sekitar lokasi Pura Jagasatru sekarang. Satu keanehan yang dialami oleh keempat warga, ketika menebang sebatang pohon , saat itu konon pohon yang dimaksud sudah terpotong seluruhnya namun tidak mau tumbang , sampai beberapa hari. Mengalami keanehan tersebut keempat warga kemudian mengambil inisiatif untuk ”nunas bawos” kenapa hal itu bisa terjadi. Pada saat nunas baos tersebut, “dasaran” tersebut dalam keadaan “kelinggihan” kemudian berlari sambil “nyunggi” daksina menuju kelokasi penebangan pohon yang ternyata didekatnya terdapat sebuah baturan . Di lokasi baturan tersebut disebut merupakan tempat yang disucikan dan Ida Sesuhunan yang melinggih di tempat itu mepesengan Ida Bhatara Nagasatru .Konon Pura Jagasatru ini adalah tempat untuk memohon kerahayuan jagat, karena yang bersemayam disana adalah Beliau yang bertugas sebagai “tabeng wijang” atau Pecalang jagad.

Lokasi Pura Jagasatru ini ada di sebuah tebing batu yang cukup terjal, saat ini dilokasi pura telah berhasil dibangun tiga buah bangunan pesandekan, namun jalan setapak tepat di sebelah selatan pura beberapa waktu yang lalu sempat longsor, sehingga pengempon berinisiatif membangun jembatan kayu tepat di bawah natar pura. Di Lokasi ini terdapat Pelinggih Agung, Pelinggih suku empat, Pelinggih pesimpangan Suralaya, Pelinggih pesimpangan watukaru, Pelinggih Pesimpangan Muncaksari, Pesimpangan jatiluwih, Pura Beji, dan Pelinggih Raja Peni/Bale Kukul.

Bersembahyang di Pura ini memang menumbuhkan suasana magis yang luar biasa, lokasi Pura di tebing, gemericik suara air yang muncul dari tebing batu, dan hutan disebelah barat yang asri menambah suasana religius, sehingga umat yang berniat sembahyang akan tergoda untuk memejamkan mata, merasakan suasana batin aura magis Pura Jagasatru. Tempat ini sangat cocok untuk dijadikan tempat memohon kesucian batin. Sebelum menuju lokasi pura sebaiknya sembahyang dulu di Pura Muncaksari mohon ijin, kemudian melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak ditengah hutan yang asri sungguh suatu pengalaman batin yang sulit untuk dilukiskan.

Mangku Kak Agung juga menyebutkan bahwa Pura Luhur Jagasatru juga memiliki hubungan dengan Pura Luhur Batukaru. Hal ini dibuktikan dengan adanya salah satu pelinggih di Pura Luhur Jagasatru yang merupakan stana Ida Sasuhunan Batukaru.

Berkaitan dengan hubungan Pura Luhur Jagasatru dengan Pura Luhur Batukaru, Mangku Kak Agung menyebutkan ada cerita yang unik. Yakni, ketika terjadi peperangan (gebug Tuakilang), pusaka Pura Luhur Batukaru menjadi salah satu incaran musuh. Mengetahui hal itu, penglingsir Pura Luhur Batukaru menyembunyikan pusakanya ke Pura Luhur Jagasatru dengan digendong oleh Nang Meger (salah satu generasi penemu Pura Luhur Jagasatru). Didalam perjalanannya, mereka bertemu dengan pihak musuh diwilayah Munduk Kembang Pacah. Melihat musuh begitu banyaknya, keduanya tiarap dengan maksud menyembunyikan diri. Anehnya, musuh yang begitu banyaknya tidak mampu melihat penglingsir Pura Batukaru dan Nang Meger. Pihak musuh itu akhirnya kembali ke markasnya. Sehingga, pusaka Pura Luhur batukaru itupun berhasil diselamatkan. Setelah keadaan aman, pusaka itu dikembalikan lagi ke Pura Luhur Batukaru. Sesaat sebelum kembali ke Pura Luhur Batukaru, penglingsir Pura Luhur Batukaru mengesahkan nama pura menjadi Pura Luhur Jagasatru.

Sementara itu, salah satu pengayah Pura Luhur Jagasatru lainnya, Mangku Kak Dharma menyebutkan bahwa hingga saat ini kondisi pelinggih-pelinggih di Pura Luhur Jagasatru masih sangat alami dan bertahan pada bentuknya semula, yakni berupa bebaturan. Termasuk juga mempertahankan luas pura. Perlu diketahui, luas pura ini termasuk sangat sempit. Pada saat persembahyangan, paling banyak bisa menampung dua puluh umat.

Menurutnya, keaslian pura ini masih dipertahankan karena Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru tidak berkenan dibuatkan pelinggih dengan corak moderen. Dengan bentuk dan coraknya yang masih sangat alami ini, justru menambah kesan pura terlihat berwibawa dan metaksu.

Menurut Mangku Gede Pura Luhur Jagasatru Jro Mangku Nengah Sukirta, hingga saat ini, Pura Luhur Jagasatru yang halaman utama mandalanya tidak lebih dari lima puluh meter persegi ini memang sengaja mempertahankan keaslian bentuk, corak dan bahan material pada setiap pelinggihnya.

Keaslian yang dimaksudkan, yakni dengan bahan batu alam yang ada disekitar lokasi Pura, berupa bebaturan (bangunan dari batu) tanpa sentuhan ornamen modern. Kondisi ini menjadi sebuah ciri khas tersendiri serta menambah suasana pura terkesan sakral dan suci. Sehingga Pura Luhur Jagasatru ini sangat layak untuk dijadikan salah satu tempat untuk melakukan pendakian spiritual.

Mangku Gede mengungkapkan, adapun pelinggih-pelinggih yang ada di Pura Luhur Jagasatru antara lain: Pelinggih Ageng, Pelinggih Pesimpangan Suralaya, Pelinggih Pesimpangan Muncaksari, Pelinggih Pesimpangan Jatiluwih, Pelinggih Pesimpangan Suku Pat, Pelinggih Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Gedong Peni (Bale Kulkul), Bale Penyimpenan dan Beji.

Sesuai dengan sejarah keberadaannya, Pura Luhur Jagasatru merupakan Tabeng Wijang Pura Luhur Batukaru. Tabeng wijang yang dimaksudkan ini tiada lain fungsi Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru sebagai pecalang jagad niskala. Sedangkan secara sekala memang terbukti Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru yang piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali (berdasarkan pawukon, setiap Rahina Wrespati Umanis Sinta)) ini sangat asih (pemurah) terhadap damuhNya/ umat.

“Pura Luhur Jagasatru merupakan Tabeng Wijang atau pecalang jagad secara niskala gaib”, ungkapnya. “Secara sekala atau nyata Ida Sasuhunan yang berstana di pura ini memang terbukti sangat asih (mengasihi) umatnya”, jelasnya tanpa bermaksud berpromosi.

Adapun contoh asihnya Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru ini terhadap umat, bisa dilihat pada hari hari tertentu, seperti pada saat hari Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon maupun pada saat pujawali berlangsung. Pada hari-hari tersebut selain datang dalam tujuan bersembahyang biasa ataupun untuk memohon sesuatu, banyak diantaranya yang datang bertujuan untuk menghaturkan terima kasih karena permohonannya telah terkabul. Misalnya, permasalahan dikeluarga atau permasalahan ekonomi telah dapat terselesaikan.

Didatangi Politikus
Mangku Gede juga menyebutkan pura ini seringkali didatangi oleh kalangan pengusaha, politikus maupun pejabat. Baik pejabat di kabupaten Tabanan maupun diluar Tabanan. Menurutnya, salah satu bupati di Bali juga pernah datang bersembahyang di pura ini dalam tujuan untuk memuluskan perjalanannya sebagai bupati.
Pada saat dia sembahyang ada sebuah ciri yang muncul yang menandakan ia dipastikan terpilih sebagai bupati. Terbukti memang, bupati yang dimaksudkan berhasil menjadi bupati selama dua periode. Siapa sosok umat yang kini terbukti mendapatkan anugerahNya sebagai bupati dua periode tersebut, Mangku Gede enggan mengungkapkan dengan alasan tidak etis.

Menjelang Pemilu lanjutnya, banyak juga kalangan caleg yang datang bersembahyang ke pura ini. Sebagian besar diantaranya berhasil meraih kursi untuk duduk sebagai anggota dewan. Namun Mangku Gede menyayangkan, setelah duduk sebagai wakil rakkyat mereka terkesan lupa terhadap keberadaan pura ini.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close