HINDU BUKAN HANYA BALI

HINDU BUKAN HANYA BALI

Saya tertarik dengan salah satu komen dari sahabat di FB yang lalu menyebutkan bahwa Hindu Bali = Agama Banten,secara kenyataan memang hal tersebut benar adanya.
Sampai saat ini hal tersebut menjadi perdebatan para intelektual Hindu.
Kalau di pikir – pikir tradisi/dresta yang dibuat oleh manusia itu dijadikan patokan dalam bersembahyang itu keliru sebab tradisi/dresta akan berubah disesuaikan tempat, waktu dan keadaan.
Misalnya contoh cara sembahyang di Bali menggunakan banten ini akan tidak beelaku di India atau tempat di luar Bali.
Semestinya benar dan tidaknya cara kita bersembahyang berpatokan pada Tatwa/Filsafat. Sesungguhya dalam ajaran agama Hindu Tatwa/Filsafat kedudukannya lebih tinggi dari pada tradisi/dresta. Walaupun demikian tidaklah mungkin orang berani merubah tradisi/dresta apalagi menghilangkannya.
Orang berpendapat bahwa Tatwa/Filsafat belakangan datangnya ke Bali dibandingkan tradisi/dresta .

Kalau Tatwa/Filsafat saja tidak bisa merubah tradisi/dresta apalagi Susila/etika. Memang sangat susah membalikkan keyakinan karena tradisi/dresta sudah mengikat kuat masyarakat Bali.

Sesungguhnya apa itu Hindu Bali?

Kita tidak bisa membedakan, agama Hindu Bali dengan Hindu Dharma.
Selama ini, masyarakat Bali mengklaim diri memeluk agama Hindu Dharma, padahal praktik kesehariannya lebih dekat pada Hindu Bali. Hindu Dharma itu lebih universal. Acuannya Weda. Hindu Bali lebih banyak dilandasi adat dan tradisi. Kalau benar masyarakat Bali beragama Hindu Dharma, hendaknya unsur adat Bali dikurangi dan universalitas agama Hindu-lah yang lebih ditonjolkan,maka akan terjadi perubahan signifikan dalam kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat Bali dengan sendirinya kita akan meninggalkan kasta. Begitu juga dengan budaya dominasi lelaki atas perempuan akan hilang,dresta dll.

Perbedaan menonjol agama Hindu Bali dan Hindu Dharma ada pada pelaksanaan upacara yang menganut konsep tapak dara. Garis tegak lurus (vertikal) pada tapak dara itu, menurut Wijaya, upacara yang berorientasi ke Tuhan, sedangkan garis horizontal pada agama Hindu Dharma bermakna upakara yang berarti pelayanan sosial pada manusia dan lingkungan. Pada agama Hindu Bali, garis horizontal itu dimaknai sebagai sarana upacara atau banten.

Kalau masyarakat Bali benar-benar ingin beragama Hindu Dharma dengan kecenderungan pada universalitas ajarannya, harus berani meninggalkan keangkuhan kedaerahan. Orang Hindu itu tidak hanya orang Bali.

Lalu bagaimana sebenarnya Agama Tirtha yang oleh para tetua menyebutkannya?
Pada mulanya para tetua Bali setelah masa kemerdekaan NKRI memperjuangkan sebuah nama agar apa yang dilakukan oleh masyarakat Bali dapat diakui oleh negara. Ketika negara mulai menetapkan apa saja nama agama yang diakui oleh negara, para tetua tersebut mengusulkan nama agama TIRTA untuk menyebut apa yg dilakukan masyarakat Bali. Namun, nama tersebut tidak dapat diterima, salah satu alasannya adalah tidak ada nama agama Tirta dibelahan Bhumi lainnya.

Setelah berjalannya waktu, dengan berbagai macam kajian kekuatan dan kelemahan yg mungkin akan muncul dikemudian hari akhirnya diturutilah saran Bapak Presiden Soekarno, para tetua Bali menggunakan usulan nama Hindu, namun dengan tambahan yang disebut Hindu Bali. Pertimbangan utamanya adalah agar apa yang dilakukan masyarakat Bali mendapatkan pengakuan dari pemerintah NKRI. Dengan nama Hindu Bali inilah akhirnya apa yang dilakukan masyarakat Bali mendapatkan pengakuan pada tahun 1958. Atas dasar inilah saya dalam tulisan sebelumnya menyatakan bahwa nama agama Hindu belum ada di Indonesia sebelum tahun 1958.

Efek samping dari mengambil nama Hindu Bali ternyata kurang bisa mengadopsi budaya lain di luar Bali yang pada intinya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Maka kemudian organisasi yang semula bernama Parisada Dharma Hindu Bali diubah namanya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Tujuannya adalah agar dapat merangkul seluruh budaya asli Indonesia sejak masa lampau dalam satu wadah, baik yang berada di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan seluruh wilayah NKRI.

Efek samping selanjutnya adalah, ketika waktu terus bergulir, banyak yang lupa bahkan tidak mengetahui sejarah penggunaan nama Hindu di NKRI ini. Akibatnya, atas ketidaktahuan tersebut banyak orang-orang, bahkan tidak sedikit pengurus PHDI sendiri yg menjadi India sentris. Sehingga membuka peluang masuknya paham-paham India merecoki Budaya bangsa kita. Alih-alih menolak budaya ke-barat-baratan, sekarang menjadi ke-India-Indiaan dsb.

Setidaknya dalam 1 dasawarsa belakangan ini, muncul beberapa frase dari para penganut India sentris. Salah satunya menyatakan bahwa apa yang dilakukan masyarakat Bali menyimpang dari Veda. Padahal jika ditelusuri pun ternyata acuannya bukanlah kitab-kitab Catur Veda Samhita, namun hanya salah satu purana saja. Ingat, Purana muncul setelah masa Veda. Oleh sebab itu, saran kami dari saudara kalian yang masih terus belajar mendalami Budaya Bali warisan leluhur kita sendiri, harap hentikan frase-frase konyol yg kalian ucapkan atas ketidakpahaman atas apa yang kami lakukan di Bali sejak masa silam. Janganlah menilai dengan dasar acuan yang tidak tepat.

Tetua Bali dahulu mengajukan nama TIRTA karena beliau memahami yg kami lakukan adalah ngastiTI RTA, menghormati dan mengelola hukum semesta. Dimana dalam ranah seperti ini memang tidak pas untuk disebut hanya sebagai sekedar Agama, sebab cakupannya jauh lebih luas, yaitu hingga Nigama dan Sundarigama. Dasar dari apa yg kami lakukan di Bali adalah TANTRA, ajaran yg sudah ada di Bhumi Timur jauh sebelum kedatangan invasi peradaban Bangsa Arya yang datang membawa ajaran Veda dari tempat asal mereka sekitar 6000BCE hingga 5000BCE. Bahkan para peneliti dunia sekarang ini pun tidak sedikit yang menyebutkan bahwa justru peradaban Arya dan ajaran Veda kepunyaan mereka mulai dipengaruhi oleh ajaran Tantra setelah memasuki wilayah India.
Pada sekitar 5000BCE, hadirlah seorang Adi Yogi yg sekarang dikenal dengan sebutan Çiwa, atau sumber lain menyebut beliau sebagai Sadha Çiwa, beliaulah yg mengajarkan kembali ajaran-ajaran Tantra di Barat (negri Bharata/India) secara lebih sistematis. Çiwa yg mengajarkan kembali ajaran-ajaran purba Bhumi Timur kepada para pendatang baru di wilayah Barat. Melalui analisa sederhana kami, Çiwa sangat erat hubungannya dengan biji dari buah yang disebut Rudrakça (Rudraksha), dan NKRI dari dahulu kala hingga masa kini masih menjadi penghasil dan pengekspor Rudrakça terbesar di dunia. Sedangkan India masih menjadi importir terbesar di dunia.

Untuk meninggikan status bangsa Arya agar dianggap lebih superior, maka dibuatlah kisah-kisah pendukung yang isinya merendahkan peradaban Timur, namun dibalut dengan alur cerita tentang kebajikan dan kebijaksanaan sehingga mudah diterima masyarakat awam, tanpa menyadari intrik politik di dalamnya. Ras-ras bangsa yang ada di belahan Timur dan yang terkait dengan Tantra dijadikan objek pihak yang terkalahkan. Menyebut ras-ras bangsa Rakçasa, Yakça dsb. sebagai golongan rendah, barbar, bahkan dalam bahasa umum sekarang mereka diterjemahkan sebagai golongan Iblis. Padahal hal tersebut lebih didasari oleh kebingungan bangsa Arya ketika berhadapan dengan bangsa Timur yang dalam kesederhanaan mereka (dianggap primitif tak beradab oleh bangsa Arya) ternyata sangat jawara dalam mengolah daya (Shakti), sangat memahami inti pengetahuan tentang Rta (hukum semesta) sehingga mampu dengan leluasa mengubah bentuk fisik mereka sesuai kemauannya, mampu melakukan teleportasi, pindah antar dimensi ruang dan waktu, terbang dsb. Padahal itu semua pun sesungguhnya hanya bunga-bunga permulaan dari mereka yg mendalami pengetahuan secara selaras antara TANTRA MANTRA YANTRA dimana sekaligus bisa menjadi jebakan batman (boomerang), bagi kemajuan perjalanan mencapai kesempurnaan pengetahuan.

Beberapan sumber yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tantra-Mantra-Yantra dimasa kini salah satu yg masih tersisa adalah tercatat dalam Ravana Samhita. Sang Dasa Muka yg sesungguhnya adalah ungkapan bahwa beliau yang menguasai sepuluh cabang pengetahuan yang utama (Dasa Mahawidya). Kami belum sampai menelaah secara mendalam tentang Dasa Mahawidya, namun kecurigaan kami mengarah kuat bahwa hal tersebut di Bali masih dikenal dengan istilah Dasa Aksara.

Oleh sebab itu, apa yg dilakukan masyarakat Bali secara lebih spesifik, sejak turun temurun sudah diwariskan oleh para tetua Bali sehingga tidak tepat jika dikatakan Hindu Bali menyimpang dari ajaran Veda India. Karena dasar yang digunakan berbeda, yaitu Tantra. Atau jika boleh dibalik, India yg juga adalah bagian dari peradaban Bhumi Timur, dimana dahulunya juga termasuk yg menggunakan ajaran Tantra adalah yang saat ini menyimpang dari ajaran Tantra, sebab sudah terlalu dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Veda yg dibawa oleh invasi bangsa Arya sejak 6000BCE.

Ajaran Veda yg dibawa bangsa Arya memang membawa pengetahuan dan kemakmuran untuk dunia, namun tanpa mengetahui tentang pengelolaan dan pemanfaatan Daya (Shakti/energi), semua itu tidak akan mencapai kesempurnaan yg paripurna.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close