PURA LUHUR CANDÌ NARMADA TANAH KILAP

PURA LUHUR CANDÌ NARMADA TANAH KILAP

Konon katanya, disebut Tanah Kilap karena di lokasi ini ada sekelebat kilatan cahaya bertepatan ketika Danghyang Nirartha Moksa di Pura Uluwatu’.
Keberadaan Dang Kahyangan Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap di Desa Pemogan, Denpasar Selatan menyimpan cerita sejarah yang cukup unik.

Mangku Gede Ida Bagus Mangku Sudana menjelaskan sekelumit sejarah Pura. IB Mangku Sudana mengisahkan bahwa pura yang kini tampak megah, dulunya bahkan tak punya nama. Pura yang kini setiap hari didatangi umat Hindu seantero Bali, dulunya hanya sebuah gundukan batu. Ya, gundukan batu yang dibuat oleh seorang nelayan bernama I Santeng. Gundukan batu dibuat secara sederhana sebagai tempatnya memohon doa sebelum menangkap ikan.

“Dulu tempat ini namanya gumi suwung atau belum punya nama. Kemudian suatu hari, ada satu nelayan yang cari ikan. Setiap mancing, dia gak pernah dapat ikan. Akhirnya nelayan ini berkaul pada Ida Bhatara penguasa lautan bahwa akan mengadakan pakelem suku pat metanduk mas. Besoknya, sehabis berkaul, ternyata benar segala jenis ikan ada dan ia dapatkan. Bahkan ada penyu,” jelasnya yang menjadi pemangku sejak tahun 1997 pasca Pura ini diresmikan.

Dari rasa syukur setelah mendapatkan ikan yang melimpah, maka di buatlah gundukan batu tersebut. Lama kelamaan, nelayan ini mendengar suara samar-samar dari gundukan batu tersebut. Suara itu muncul mengatakan bahwa beliau yang berstana di gundukan tersebut Bhatari Nirswabawa yang tiada lain adalah anak Danghyang Nirartha. Suara tersebut juga menyebutkan nama tempat ini adalah Pemogan. Penamaan ini berasal dari kata Boga yang artinya makanan.

“Di tempat ini makanan melimpah. Telah memberikan kemakmuran, sehingga disebut Boga yang kemudian menjadi Pemogan,” jelasnya.

Sedangkan terkait Bhatari Nirswabawa, dijelaskan bahwa beliau merupakan anak dari Danghyang Nirartha.

“Dalam perjalanan suci Danghyang Nirartha dari Pura Sakenan menuju Pura Petitenget, anak beliau Nirswabawa diminta untuk diam di sini. Dari Pura Petitenget, Danghyang Nirartha menuju Pura Uluwatu. Di tempat itulah beliau moksa. Bersamaan dengan moksa itu, kilatan cahaya jatuh tepat disini dan anak beliau ikut moksa mengikuti jejak leluhurnya. Kemudian beliau disebut Ratu Niyang Sakti,” jelasnya.

Terkait perubahan gundukan batu menjadi pura, menurut Mangku Gede terjadi setelah ada jalan Bypass Gusti Ngurah Rai. Mulai dari hanya satu pelinggih Padmasari, kemudian oleh pemerintahan provinsi Bali, yang waktu itu Dewa Beratha sebagai Gubernur mulailah dilakukan renovasi. “Bangunan selesai tahun 1995. Dua tahun setelah itu barulah dilakukan upacara besar Ngenteg Linggih Dirgayusa Bumi,” terangnya.

Piodalan pura ini bertepatan dengan Purnamaning Kasa. Selain itu, pura ini juga menggelar piodalan saat rahina tertentu seperti Saraswati dan Buda Cemeng Klau (piodalan Rambut Sedana). “Di sini berstana dewa kemakmuran, Bhatari Saraswati, Bhatara Sedana dan Bhatari Sri,” ujarnya.

Seiring antusias umat Hindu di Bali melakukan persembahyangan, pura ini tak pernah sepi. Sehingga para pemangku stanby setiap hari. “Tiap hari, pura tak pernah kosong. Pemangku selalu ada,” jelasnya. Ditambahkan, pura ini diempon oleh krama Desa Pemogan dengan Griya Bajing sebagai pengawas.

Dari segi pendanaan, pura ini didukung tetap oleh beberapa pasar di Denpasar seperti Pasar Sanglah, Pasar Badung dan Pasar Satria. Di Pura ini terdapat cukup banyak pelinggih selain yang disebutkan tadi. Diantaranya ada pelinggih Ida Batara Gde Mecaling atau Ida Batara Ratu Gde Sakti Dalem Peed, pelinggih Ida Batara Segara, Melanting dan beberapa pelinggih pelengkap lainnya.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close