PURA GADING WANI

Pada tahun 1489 (isaka 1411) Danghyang Nirartha tiba di Bali. Pada awalnya Danghyang Nirartha bertempat tinggal di Desa Gading Wani (Jembrana). Ketika itu yang berkuasa sebagai bandesa di Gading Wani adalah keturunan Ki Bandesa Mas (Arya Tan Mundur). Ki Bandesa Mas berguru mengenai keagamaan dan Dharma Brahmana kepada Danghyang Nirartha. Setelah didwijati Ki Bandesa Mas (Arya Tan Mundur) menjalani Dharma Brahmana bergelar Ki Dukuh dan sebagai nabenya adalah Danghyang Nirartha. Disana Danghyang Nirartha memberitahukan kepada keturunan Arya Tan Mundur yang ada di Desa Gading Wani, jika menyelenggarakan yadnya supaya dipuput oleh Ki Dukuh (Ki Dukuh Macan Gading), demikian seterusnya sampai anak cucu keturunannya agar yadnya dipuput keturunan Ki Bandesa Mas (Ki Dukuh).-

Ceritra kedatangan Danghyang Nirartha di Gading Wani ;

Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk bersila menyembah. “Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak.Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya. Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya.

Dang Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.

Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya. Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam. Orang desa banyak yang turun menyaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta.

Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).

Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orang orang desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani. Setelah itu diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” .

Ki Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen berama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra menerimanya.

PRASASTI KGP BANDESA MANIK MAS

Ida Swabawa maparhyangan ring Pulaki, nganugrahaken sastra dahat utama wiaktinia ngaran, Canting Mas, suwer Mas, muah Weda Sulambang Geni, Pasupati Rancana. Taler panugrahan Ida Padanda Danghyang Dwijendra.

Wastu asing ngamong wisastra iki, sapreti Santana sira KGP Bandesa
Manik Mas, amangguh suka saparania amanggih rahayu, tan keneng baya redi sira, tur wredi pomah-omah sira, lan katanan wigraha sira.

Nanging yan ana sakulawarga sira, KGP Bandesa Manik Mas,wruh ring sastra, yan sira tan eling ring kawitan, muah tan rumaksa Aji kadi arep, wastu kita kabeh sawangsana KGP Bandesa Manik Mas, tan amanggih rahayu, tan papegatan gering, tungkas masasanak, nemu duka tibaka, muang kawignan.

Mangkana pawarah hira ri sira, Mpu Manik Mas

Muah ana bisama ring Pura Taman Pule kalih Pura Bokcabe. Katibeng antuk pratisantana Kyai Pangeran Mas, tekanning Brahmana Mas, yan ana saterehe Pangeran Mas tan eling, lipia nyungsung ring Pura Taman Pule, ring Pura Bokcabe, wastu ya kabeh, sagotrane Kyai Bandesa Manik Mas,Brahmana Mas, yan tan manula kaya ling Prasasti iki, tan amnggih sadia rahayu, lungsur kasukan, cendek tuwuh, kalah kawisesan, sambe asanak, tan surud kawignan.

Mangkana sosote Kyai Bandesa tekeng pratisantanannia wekas. Ayua lupa kita kabeh sawerungsun kamung.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close