Ratu Gede Mecaling

Ratu Gede Mecaling

Tokoh gaib Ratu Gede Mecaling sangat dikenal masyarakat Hindu Bali. Dalam kepercayaan orang Bali, Ratu Gede Mecaling adalah tokoh yang sangat sakti, yang dapat menimbulkan bencana di pulau Bali ini, terutama pada sasih keenem. Serangkaian upacara ritual harus dilaksanakan agar Ratu Gede Mecaling dan pengikutnya tidak marah dan melakukan serangan niskala kepada penduduk Bali, dan penuntun ritual sasih keenem ini pun harus dipandu secara formal oleh bendesa adat, atau oleh lembaga Hindu lainnya agar dilakukan serentah dan seragam.

Sementara itu, mucul nama lain yang diduga merupakan nama lain dari tokoh Ratu Gede Mecaling, yakni Dalem Nusa, Dalem Sawangan, Dalem Bungkut, bahkan Ratu Niyang Dalem Ped. Nama Dalem Ped selalu disebut-sebut sebagai sungsungan yang memberi anugrah bagi beberapa balian di Bali. Meskipun hampir semua tokoh ini digambarkan memiliki kekuatan gaib yang biasa, masih timbul pertanyaan apakah benar tokoh-tokoh gaib itu adalah berasal dari tokoh yang sama? Dengan kata lain, apakah tokoh-tokoh itu berbeda, dan hidup kurun waktu yang sama, atau berbeda? Kalau tidak melacak berbagai teks baik teks sejarah (babad), mitologi dan dongeng, tentu akan timbul kecenderungan untuk menyamakan semua tokoh itu, apalagi kalau pemahaman mengenai tokoh-tokoh itu diperoleh melalui ingatan dan ditransmisikan secara lisan.

Mungkin akan munculpertanyaan untuk apa melacak geneologi tokoh-tokoh itu? Tentu tidak bermaksud untuk melemahkan kepercayaan yang sudah berabad-abad dipertahankan, melainkan untuk membudayakan kebiasaan untuk mencari, membaca dan memahami sumber-sumber tertulis agar kita tidak bersandar pada ungkapan “anak mule keto”. Sajian Taksu kali ini, seperti juga yang sudah-sudah, hanyalah sebagian dari bahan-bahan kebudayaan Bali yang harus dilacak, dibaca dan dipelajari. Apa yang disajikan di sini hanyalah sebuah jalan dari sekian banyak jalan yang lain, yang masih banyak di depan kita. Selamat membaca!

taksu image 4Nusa Sakti

Ketika hari rerahinan Buda Cemeng Klawu, umat Hindu dan sebagian besar para Balian, Jero Dasaran, tangkil ke Pura Penataran Peed. Denmikian juga dengan datangnya Sasih Kenem, Kepitu, umat Hindu diingatkan dengan mitologi Ratu Gede Mecaling yang berstana di Dalem Nusa yang konon akan datang beserta dengan para ancangan beliau. Di lain pihak umat Hindu di Bali menyelenggarakan upacara untuk memohon keselamatan dan perlindungan Betara Dalem dari amukan para ancangan Ida Sesuhunan Ratu Gede Mecaling yang berstana di Dakem Peed atau Dalem Nusa

Mitologi dan kenyataannya bahwa Gumi Nusa memang angker, dengan sesuhunan Ratu Gede Mecaling, dan sederetan kisah tentanq tokoh-tokoh sakti di Nusa seperti Ki Dukuh Jumpungan, Dalem Sawangan, Dalem Dukut, dll. Semua ini menarik untuk disimak dan dipahami, kenapa para umat, para penekun spiritual tangkil ke Dalem Ped.

Melacak genealogi Ratu Gede Mealing

Siapa sebenarnya tokoh Ratu Gede Mecaling? Apakah tokoh ini adalah nama lain dari Dalem Nusa, Dalem Sawangan, Dalem Bungkut atau Ratu Dalem Ped? Mengapa pengaruh mistik Ratu Gede Mecaling demikian kuat mencekam pikiran orang Bali? Berikut dicoba melacak geneologi Ratu Gede Mecaling dan hubungannya dengan nama-nama lain, yang agak mirip dan mempunyai pengaruh mistik yang juga sangat besar.

Kepercayaan alam gaib manusia Bali tidak dapat diputuskan hubungannya dengan tokoh-tokoh seperti Dalem Nusa, Dalem Bungkut, Dalem Sawangan, Ratu Gede Mecaling dan Ratu Dalem Ped. Kepercayaan bahwa tokoh-tokoh itu memiliki kekuatan gaib dalam wujud bencana, apabila masyarakat Bali kurang memperhatikan mereka, sebaliknya akan mendapat keselamatan dan umur panjang, apabila memuja mereka secara sepatutnya, adalah kepercayaan yang demikian besar dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman yang membawa pemikiran-pemikiran yang rasional.

taksu image 5

Dengan demikian, tidaklah berlebihan atau mengada-ada, apabila dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran rasional yang diperoleh karena proses pendidikan formal masih sangat kuat berdampingan dengan pemikiran-pemikiran irasional. Seakan melupakan saja rasional itu, orang Bali dapat melaksanakan ritual yang diperintahkan oleh mitologi dari tokoh-tokoh berpengaruh di atas, dan ihwal pengaruh mistik-gaib tokoh-tokoh itu tertulis di dalam narasi-narasi yang memiliki persepsinya sendiri-sendiri. Artinya, terdapat kelompok teks yang menarasikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah tokoh yang sama dengan tokoh Dalem Nusa, Dalem Bungkut atau Dalem Sawangan. Namun, ditemukan juga kelompok teks yang lain, yang menarasikan bahwa tokoh-tokoh itu sesungguhnya berbeda satu sama lain, kecuali kesamaan yang digambarkan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan sebagai bentuk ancaman niskala pada masyarakat Bali, terutama di Bali dataran atau selatan.

Lontar “Ratu Gede Mecaling” (koleksi Fakultas Sastra Unud), yang versi terjemahannya dapat dibaca dalam buku ‘Leak dalam Folklore Bali’ (Jiwa Atmaja, 2005) adalah salah satu teks yang narasinya mangacaukan sosok Ratu Gede Mecaling dengan tokoh Dalem Bungkut. Narasi ini diawali dengan kekalahan Dalem Nusa, raja Nusa Penida yang diserang pasukan Gelgel yang dipimpin oleh Krian Jelantik yang dikenal dengan nama I Gusti Jelantik Bogol lalu Dalem Nusa yang menyerah dalam perang tanding dengan Gusti Jelantik Bogol itu, mengancam bahwa roh beliau tidak akan ke sorga, namun tetap berada di Nusa, dan setiap sasih keenem akan menyerang penduduk Bali dengan kekuatan gaibnya, sehingga bencana terjadi di Bali. Teks ini secara terang- terang menyebut raja Nusa Penida itu sebagai Ratu Gede Mecaling. Padahal, Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu bukanlah Ratu Gade Mecaling.

Sementara orang Bali, yang umumnya terpengaruh oleh ancaman gaib Ratu Gede Mecaling itu, mulai melakukan ritual untuk penangkal serangan gaib, yang datang pada setiap sasih keenem. Jika ancaman niskala ini hanyalah kutukan di dalam mitos, maka ia mungkin berarti hanya peringatan bahwa memang pada sasih keenem itu, yang disebut musim pancaroba memang menimbulkan wabah atau penyakit, terutama pada masa lampau ketika penduduk memiliki pengetahuan untuk melindungi diri dari ancaman musam atau alam.

Kunjungi..!

Ngiring matumbasan sareng semeton Bali

Padahal, dalam “Babad Belahbatuh” (koleksi Gedong Kertya; nomor tidak tercatat), dan “Babad Dalem”, yang mengisahkan serangan pasukan Gelgel ke Nusa Penida tidak satu kata pun ditemukan yang menyebut, atau mendeskripsikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah nama lain dari Dalem Nusa. Meskipun kedua teks sejarah tradisional itu tidak membersihkan diri dari ikatan kepercayaan kekuatan gaib, misalnya digambarkan kekuatan gaib mengenai keris yang digunakan untuk membunuh Dalem Nusa sesungguhnya berasal dari Bhatara di Toh Langkir (Gunung Agung), namun tidak ditemukan narasi adanya ancaman niskala Dalem Nusa terhadap penduduk Bali sebagaimana dilukiskan lontar mengenai Ratu Gede Mecaling yang memang tidak tergolong teks sejarah itu. Juga, dalam kedua babad itu, tidak ditemukan narasi kekuatan gaib yang mengarah kepada penggunaan ilmu hitam sebagaimana dilukiskan lontar cerita rakyat itu, yang kemudian dipersepsi seperti itu oleh umumnya orang Bali.

Babad “Nusa Penida” (dalam versi Jero Mangku Made Buda), yang narasinya agak dengan “Lontar Dukuh (p.7) Jumpungan” justru mengisahkan geneologi tokoh Ratu Gede Mecaling sebagai manusia biasa, yakni sebagai putra dari I Renggan dengan Ni Merahim. Ni Ratu Gede Mecaling lahir pada Saka 180, sedangkan saudara perempuannya bernama Ni Tole lahir pada tahun Saka 185. Ni Tole diperistri oleh Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa. Jika dihubungkan dengan “Babad Dalem” dan “Babad Belah Batuh”, jelas sekali bahwa Dalem Sawang bukanlah Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu. Ada dua alasan mengapa kedua tokoh itu berbeda. Pertama, Dalem Nusa atau Dalem Bungkut adalah seketurunan atau keluarga dekat Dalem Di Made, sedangkan Dalem Sawang adalah raja Nusa yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat berjauhan dengan masa pemerintahan Dalem Nusa atau Dalem Bungkut.

I Gede Mecaling melakukan yoga semadhi di Ped, pengastawanya ditujukan kepada Bhatara Siwa, karena ketekunannya melakukan yoga, I Gede Mecaling dianugrahkan Kanda Sana, yang membuat tubuhnya berubah tinggi besar, wajahnya menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Melihat perubahan itu, I Gede Mecaling pun meraung-raung yang membuat Marcapada gempar. Singkat cerita, Bhatara Indra berhasil memotong kedua taring I Gede Mecaling, yang membuat I Gede Mecaling tidak lagi meraung-raung. Beliau kemudian melakukan yoga semadhi di Ped sehingga mendapatkan panca taksu, yakni taksu kesaktian, taksi balian, taksu pengeger, taksu penolak grubug, dan taksu mengadakan kemeranan. Meskipun mungkin agak kurang masuk akal, setelah Dalem Dukud moksa. I Gede Mecalinglah yang menjadi raja di Nusa. I Gede Mecaling bergelar I Papak Poleng, sedangkan istrinya bergelar Papak Selem.

Anehnya, meskipun kelompok teks kedua yang membedakan riwayat tokoh I Gede Mecaling, Dalem Nusa, Dalem Sawang, namun hampir semuanya menyisipkan gambaran kepercayaan magis yang cenderung menyeramkan. Babad “Nusa Penida”, misalnya menyebut dua kali mengenai kata mecaling. Pertama, ketika Dalem Sawang menyampaikan pastu yang berbunyi: “Barang siapa yang ingin menyusung Durga Dewi pengastawanya ke dalem Nusa sepatutnya menggunakan kayu perahu sebagai prelingga sarwa mecaling, karena kayu perahu berasal dari pengendrana Ida Bhatara Siwa (Dukuh Jumpungan), maka sidi, sakti, perkasalah dia”. Kedua, kata mecaling digunakan sebagai nama tokoh sebagaimana disebutkan sebelumnya (Taksu/Jiv).

taksu image 8Hyang Siwa Rudra memberkati Gede Mecaling

Ada banyak balian, tapakan, sutri, mangku dalang, penekun topeng dan pregina calonarang yang nyungsung Ida Bhatara Ratu Gede Macaling yang merupakan bhatara utama yang terdapat di Pura Ratu Gede Dalem Nusa atau Peed. Tapi tak banyak diantara mereka yang paham benar, siapakah sesungguhnya beliau?

Nusa Penida sebenarnya berasal dari kata, nusa yang artinya pulau, sedangkan kata penida berasal dari kata Pandita, atau pendeta atau brahmana utama. Sebenarnya pandita yang dimaksud adalah Hyang Pasupati atau Bhatara Siwa sebagai raja pandita seluruh jagat.

Bhatara Siwa diyakini turun menuju wilayah tersebut pada tahun saka 50, dan berstana di Gunung Mundhi, disertai permaisuri beliau Dewi Uma. Beliau kemudian menjelma menjadi manusia sakti tanpa tanding, tahu akan segala macam ilmu sastra dan mahir dalam segala macam kepintaran. Singkat katanya beliau menjadi seorang pendeta besar bernama Dukuh Jumpungan. Inilah awal dimana pulau pendeta atau Nusa Pandita yang lama kelamaan menjadi Nusa Penida.

Sedangkan istri dari Dukuh Jumpungan yang merupakan penjelmaan Dewi Uma bernama Ida Bhatari Ni Puri. Pada tahun saka 90, Bhatari Ni Puri melahirkan putra perkasa bernama I Merja. Setelah dewasa, I Merja sama saktinya dengan ibu dan ayahnya. Sama-sama memiliki kedigjayaan yang begitu besar dan gemar akan tapa. Ketika dewasa I Merja menikah dengan seorang gadis dari Loka bernama Ni Luna yang turun ke dunia pada tahun saka 97.

Ni Luna juga senang akan tapa brata. Tempat dimana beliau melakukan yoga kini disebut sebagai Pura Batu Banglas. Dari pernikahan mereka, maka lahirlah seorang putra yang sakti bernama I Renggan. Beliau lahir pada tahun saka 150 dan beliau menikah dengan Ni Merahim yang lahir pada tahun saka 160.

I Renggan yang amat sakti gemar akan tapa memiliki perahu anugrah dari Dukuh Jumpungan. Dengan perahu itulah I Renggan menabrak pulau Nusa hingga terbelah menjadi dua bagian. Yang besar bernama Nusa Gede dan yang kecil bernama Nusa Cenik. Nah sekarang beliau ingin menguji perahu (p.9) dan saktinya kepada rakyat Bali, maka berlayarlah I Renggan Padangbai dan di sana beliau banyak membuat ketakutan rakyat Bali.

Anak buah I Renggan banyak menteror masyarakat di sana dan membawa wabah berupa hama dan banyak menyerang tanaman. Hingga berlarilah masyarakat Bali menuju tempat junjungan mereka, yakni Gunung Agung. Ida Bhatara Hyang Tohlangkir tak berkenan dengan kejadian ini. Kemudian beliau melumpuhkan penyakit yang dibawa oleh I Renggan.

I Renggan yang menikah dengan Ni Merahim memiliki dua orang anak, yang putra bernama I Gede Mecaling dan perempuan bernama Ni Tole, lahir pada tahun saka 180. I Gede Mecaling menikah Sang Ayu Mas Rajeg Bhumi.

Pada tahun 250 saka, Gede Mecaling melakukan tapa di Peed dan pengastawan Ida ditujukan kepada Bhatara Siwa.

Karena saking keras tapa dan brata yang dilakukan oleh Gede Mecaling, maka Bhatara Siwa berkenan memberikan anugerah berupa kesaktian Kanda Sanga. Seketika itu juga Gede Mecaling berubah wujud menjadi sangat menyeramkan. Taringnya panjang dan badannya besar sekali. Suaranya menggetarkan jagat raya, dan oleh sebab itulah kemudian Ida Bhatara Indra turun dari Loka untuk mengatasi ketakutan yang dibuat oleh GedeMecaling.

Bhatara Indra memotong taring dari Gede Mecaling dan membuat jagat tentram kembali. Setelah itu berhasil dilakukan, kemudian I Gede Mecaling kembali melakukan tapa hebat memuja Bhatara Rudra. Dengan ketekunan yang dimiliki oleh Gede Mecaling, maka Ida Bhatara Rudra menjadi asih dan memberikan anugerah kepada I Gede Mecaling berupa lima macam sakti yakni: Taksu kesaktian, taksu pengeger, taksu balian, taksu penolak grubug dan taksu pengadakan mrana.

Dari sanalah kemudian semua pengikut bala samar yang ada di Nusa menjadi bawahan dari Gede Mecaling. Beliau distanakan dalam Pura Ratu Gede dan diberi nama suci Ida Bhatara Ratu Hyang Agung Ratu Gede Mecaling. Seluruh sakti yang berupa lima macam taksu tadi adalah hal-hal yang menjadi gegambelan Ida Bhatara. Jadi tidaklah mengherankan jika banyak tapakan, balian, jero dalang, topeng, dan penekun kewisesan melakukan tirakat untuk menyenangkan hati Ratu Gede Mecaling agar menerima berkat yang mereka inginkan.

Tidak ada satupun balian yang kalah, tidak ada satu penekun ilmu kewisesan yang kasor jika sudah mendapatkan anugerah dari Ida Bhatara Gede Mecaling. Semuanya akan siddhimandhi, siddhimantra dan siddhi ngucap. Pelinggih beliau adalah ada di Pura Ratu Gede dengan ciri yang berbeda dari pura-pura lain yang terdapat di wilayah Peed. Seluruh busana pura atau wastra pura berwarna poleng. Dari candi bentar, apit lawang, hingga pelinggih utama, semuanya poleng. Itulah cirinya Pura Ratu Gede Mecaling.

Menurut mitologi, hujan di wilayah Klungkung dan sekitarnya adalah ada di bawah penguasaan Ratu Gede Mecaling. Jadi kepada tukang terang dan pawang hujan, jika ingin sukses berkecimpung pada profsesinya, maka jangan abaikan pemujaan kepada Ratu Gede Mecaling Dalem Nusa. (Taksu/Gede Agus Budi Adnyana)

taksu image 10I Papak Poleng dan I Papak Selem

Ratu Gede Mecaling sudah tidak asing lagi di telinga warga Bali. Siapa sesunggunya Ratu Gede Mas Mecaling. Dari perkawinan Renggan dengan Ni Merahim, lahirlah dua orang anak, satu laki-laki yang satunya perempuan. Yang laki-laki bernama I Gede Mecaling dan yang perempuan bernama Ni Tole. Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida. Sedang I Gede Mecaling mempunyai seorang istri bernama Sang Ayu Mas Rajeg Bumi. I Gede Mecaling sangat senang melakukan tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya ditujukan kepada Ida Bhatara Siwa. Atas ketekunannya, Ida Bhatara Siwa berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan berupa Kanda Sanga kepada Gede Mecaling.

Setelah mendapat panugrahan kanda sanga, tubuh Gede Mecaling menjadi berubah. Badannya menjadi besar, mukanya menyeramkan, taringnya panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Sedemikian hebatnya dan menyeramkan, seketika itu juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara meraung-raung siang malam dari I Gede Mecaling. Para dewa menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian

I Gede Mecaling yang bersumber pada kedua taringnya yang telah dianugrahkan oleh Ida Bhatara Siwa. Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk memotong taring Gede Mecaling. Setelah taring Gede Mecaling berhasil dipotong barulah I Gede Mecaling berhenti menggemparkan jagat raya. Setelah itu I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, memuja Ida Bhatara Rudra. Ida Bhatara Rudra berkenan turun ke bumi memberikan panugrahan kepada I Gede Mecaling berupa panca taksu, yaitu: taksu balian, taksu penolak grubug, taksu kemeranan, taksu kesaktian, taksu penggeger. Akhirnya I Gede Mecaling menjadi raja setelah Dalem Sawang wafat karena berperang dengan Dalem Dukut.

I Gede Mecaling memimpin semua wong samar dan bebutan-bebutan yang ada di bumi. I Gede Mecaling juga memberikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ratu Gede Samudra. Gelar dari I Gede Mecaling yang deiberikan oleh Ida Betari Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. I Gede Ratu Mecaling moksa di Ped dan istrinya moksa di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa bumi Nusa Penida dan dapat wewenang sebagai penguasa kematian. Maka bagi umat yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada beliau I Gede Mecaling yang akhirnya bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling. Akan tetapi karena sering ke Bali dan bertemu dengan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, akhirnya Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped juda menjadi Pengabih Ida Bhatari Ratu Niang Sakti (Taksu/psp).

taksu image 12Pura Penataran Agung Ped Stana Hyang Purusha Predana

(p.12) Pura Dalem Penataran Peed di Nusa Penida merupakan pura untuk Tuhan Yang Mahakuasa (Ida Sanghyang Widhi Wasa) sebagai pencipta Purusha dan Pradana. Purusha yang merupakan kekuatan jiwa yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya, sedangkan Pradana adalah kekuatan fisik secara nyata kekuatan Purusha tersebut. Oleh sebab itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupaun daya fisik.

Nyelang galah madolan ngih.🙏

Ngiring matumbasan sareng semeton Bali🙏

Di Pura Dalem Penataran Peed terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpanan di pelinggih utama Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).

Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Bhatara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala, smbol kekuatan fisik berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem (p.13) Sawang. Pepatih Dalem Sawang. Pepatih Dalem Sawang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa yang merupakan kompyang dari Dukuh Jumpungan. Dukuh Jumpungan lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun, karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, oleh Hyang Tri Murti diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-menurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.

Ratu Gede Nusa (I Gede Mecaling) berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus wong samar. Lima rarus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa (I Gede Mecaling) atas tapa bratanya yang keras. Atas tapa brata itu Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan kebenaran sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

Di Pura Dalem Penataran Peed, Ida Batara Dalem Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa (Ratu Gede Mecaling) berada di areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed.

Pura Dalem Penataran Peed merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi. Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur Tuhan ini akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.

Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Kalwu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatakan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menykseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar untuk mencapai Moksha. Adanya Pelinggih Menjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpenan, dapat diperkirakan bahwa Tugu Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapat perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman Dalem Klungkung.

Pura Penataran Ped berlokasi di desa Ped, Nusa Penida, sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai. Karena pengaruhnya sangat luas ke seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped berstatus Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Sehingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai dsalah satu objek wisata spiritual yang paling diminati dari semua kalangan. Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Penataran Agung Ped sangat simpangsiur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama.

Puri Klungkung, Puri Gelgel, Mangku Rumodja dan Mangku Lingsir menyebutkan pura ini bernama Pura Penataran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped. Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Yang dimaksud adalah Pura Dalem Penataran Ped. Satu pihak menoljolkan penataran, pihak lainnya lebih menonjolkan dalem. Selain itu, beberapa petunjuk menyebutkan bahwa pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem.

Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan bahwa Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tyapel sakti di Pura Dalem Nusa. Saking saktinya, tapel-tapel itu mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata secara gaib tiga tapel itu muncul di Pura Dalem Nusa. Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.

Berita kesaktian tiga tapel itu bukan saja didengar oleh Ida Pedanda, tetapi juga ke seluruh pelosok Bali. Warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama, ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul, tak lama berselang serangan hama tersebut reda. Sesuai kaulnya, warga Subak Sampalan kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan.

Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped). Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan, karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Ada pula yang menyebutkan pura ini dengan sebutan Pura Dalem (bukan Pura Dalem Kayangan Tiga), melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat bibir pantai. Beberapa meter ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih, berfungsi sebagai tempat penyucian. Kemudian mengarah ke barat lagi ada pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timur ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba. Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan pendukung lainnya.

Di jaba ada sebuah wantilan untuk pertunjukan kesenian. Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebahan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan lainnya.

Pura ini sekarang diempon 18 desa pakraman, mulai dari Desa Kutampi ke barat. (Taksu/pus)

taksu image 15Ratu Gede Mas Mecaling di Biaung

(p.15) Pura Ratu Gede Mas Mecaling, demikian masyarakat menyebut nama pura ini, yang berlokasi di sebelah barat Banjar perempatan Banjar Biaung, Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar Timur. Pura dengan aura magis yang sangat tinggi ini mempuyai hubungan erat dengan Pura Dalem Ped, Nusa Penida. Kisah inipun bermula dari tiga orang warga setempat yang mengalami sakit misterius. Saat itu masyarakat setempat mengalami grubug, sebab sebelumnuya wilayah Biaung tertimpa penyakit yang disebabkan penyerangan oleh mahluk halus yang merupakan Ancangan Ratu Gede Mas Mecaling, yang merupakan Sesuhunan di pura ini. Mahluk halus ancangan Ratu Gede Mas Mecaling ini sangat ganas. Dari adanya keberebehan/kesakitan inilah akhirnya penglingsir Banjar Biaung mapinunas ke Nusa Panida agar tidak ada lagi bencana yang menimpa warga Biaung dan sekitarnya.

Dari pawisik yang diperoleh, warga Biaung kemudian membuat palinggih untuk Ida Bhatara Ratu Gede Sakti yang disebut Ratu Gede Mas Mecaling. Di samping mendirikan pura, bendesa beserta warga setempat juga nuntun yang ada di Nusa Panida agar tidak lagi terjadi bencana. Pura ini dijaga ketat oleh mahluk halus yang merupakan ancangan dari Ratu Gede Mas Mecaling yang berjumlah 118, jenis serta rupa yang menyeramkan tersebar di seluruh areal pura. Bagi mereka yang berniat jahat ataupun berbicara kasar maka orang tersebut pasti kesakitan atau kepongor.

Adapun ancangan Ratu Gede Mas (p.16) Mecaling biasanya dengan postur tubuh tinggi besar kurang lebih tinggginya menyamai setinggi pohon kelapa. Jika ancangan itu muncul, maka pertanda akan ada warga setempat yang akan meninggal. Ada ancangan yang menyerupai manusia tanpa kepala, biasanya ancangan ini sangat galak dan selalu mengganggu aktivitas manusia yang tidak menghaturkan banten. Jero Mangku sendiri sering sekali didatangi oleh ancangan-ancangan tersebut pada saat ngaturan ayah di pura, akan tetapi orang lain tidak mampu melihatnya.

taksu image 16

Pujawali di pura ini jatuh pada Budha Cemeng Klau, yang dihadiri oleh pemedek tidak hanya warga Biaung saja, namun dari berbagai daerah yang ada di Bali. Warga menyakini bahwa penguasa punyan kepuh di jaba pura ini sangat bares. Banyak sekali paica yang muncul pada saat piodalan, termasuk semua pura yang ada di sekitar dusun tersebut terutama sebagai penyanding akan datang silih berganti, seperti Ratu Dalem Lemurasana, Ratu Bangun Sakti dan Ratu Agung Pangiangan yang kesemuanya akan hadir untuk meramaikan piodalan yang berlangsung.

Aura magis yang kental menyelimuti areal sekitar pura ini sehingga tidak ada yang berani melintas di sekitar pura, apalagi yang suka membawa gegemet. Pada saat sasih kalima atau keenem biasanya dilaksanakan ritual sebagai ajang untuk memperlihatkan diri dalam wujud yang menyeramkan.

Keberadaan pohon yang ada di jaba pura ini sudah tua dan sangat besar serta angker sehingga sangat dipercaya orang mampu memberikan kesaktian atau paica yang diinginkan. Ada yang nunas tamba, ada yang mendapatkan penguwus atau ketakson. Dengan catatan matur piuning terlebih dahulu agar terhindar tak diganggu ancangan Ida Ratu Gede Mas Mecaling. (Taksu/Psp)

Dalem Dukut vs Jelantik Bogol

(p.17) Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan upaya Dalem Klungkung menyatukan Nusa Penida dengan Bali. Upaya itu dilakukan untuk membanguan hubungan yang produktif antara rakyat Bali dan rakyat Nusa. Hanya saat Ngurah Peminggir diutus oleh Dalem Klungkung mendekati Dalem Nusa ternyata gagal. Kegagalan itu karena Ngurah Peminggir kekerasan perang mempunyai kemauan yang sangat keras ingin menguasai Nusa. Saat itu Dalem Nusa melepaskan wong samar untuk mengalahkan Ngurah Peminggir dan pasukannya.

Dalem Klungkung melanjutkan upaya penyatuan Pulau Bali dengan Nusa dengan mengutus I Gusti Ngurah Jelantik Bogol. Pendekatan yang digunakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik Bogol merupakan upaya di dalam pendekatan yang etis mengikuti tata krama seorang kesatria sebagai utusan raja. Dalem Dukut pun menerima dengan sangat hormat. Dalem Dukut atau Dalem Bungkut bersedia menyerahkan Kerajaan Nusa melalui suatu cara yang terhormat dalam tata krama sebagai kesatria. Dua tokoh ini pun mengadakan perang tanding dengan tidak melibatkan prajurit dan rakyat. Mereka melakukan perang tanding secara kesatria tidak berdasarkan kebencian dan kesombongan akan kelebihan diri masing-masing.

Dalam jamuan tersebut Dalem Dukut menyatakan bahwa Nusa tidak akan kalah kalau Dalem Dukut masih hidup, walaupun semua pasukan Nusa habis. Sebaliknya utusan Dalem Klungkung pun tidak akan kalah kalau Patih Jelantik Bogol tidak gugur di medan perang, meskipun semua pasukan Klungkung gugur dalam pertempuran.

Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk tidak mengikutsertakan pasukannya bertempur. Biarlah mereka bergembira membangun komunikasi persaudaraan demi Bali dan Nusa. Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk melakukan perang tanding dalam melakukan swadharma kesatria. Swadharma Patih Jelantik Bogol adalah menyukseskan misi Dalem Klungkung (p.18) untuk menyatukan Nusa Penida ke dalam kekuasaan Klungkung, sedangkan Dalem Dukut memiliki swadharma untuk menjaga eksistensi kehormatan Kerajaan Nusa Penida.

taksu image 17

I Gst. Jelantik Bogol dalam perang tanding itu menggunakan senjata pemberian kerajaan bernama Ganja Malela. Dalam perang tanding itu senjata Ganja Malela I Gusti Jelantik Bogol patah. Hampir saja I Gst. Jelantik Bogol kalah. Cepat-cepat istrinya, Ni Gusti Ayu Kaler memberikan senjata bertuah bernama Pencok Sahang. Melihat senjata Pencok Sahang ini Dalem Dukut sudah punya firasat bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke alam sunia lewat senjata Pencok Sahang.

Peperangan pun dihentikan sementara dan Dalem Dukut menyatakan kepada I Gst. Jelantik Bogol bahwa ia akan kembali ke Sunia Loka lewat senjata Pencok Sahang itu. Dalem Dukut pun menyatakan menyerahkan segala kekayaan Nusa dengan rakyat dan wong samarnya untuk mendukung Dalem Klungkung. Senjata Pencok Sahang ini sesungguhnya adalah taring Naga Basuki. Ketika Ni Gst. Ayu Kaler mandi di Sungai Unda, ada sepotong kayu bagaikan kayu bakar atau sahang yang selalu menujunya. Setiap kayu itu dijauhkan dari dirinya selalu kembali mendekati dirinya. Akhirnya kayu itu dipungut. Setelah dibelah ternyata di dalamnya terdapat sebuah keris yang belum jadi. Keris itulah bernama Pencok Sahang yang tiada lain adalah taring Naga Basuki sendiri.

Bersatunya Nusa dengan Bali menjadi satu sistem pemerintahan dalam proses yang sangat terhormat pada masa pemerintahan Dalem Klungkung. Tidak ada yang kalah menang dalam artian sempit. Dalem Dukut tidak mengerahkan pasukan wong samar-nya melawan I Gst. Jelantik Bogol. Kemungkinan Dalem Dukut melihat suatu kepentingan yang lebih besar dan lebih mulia yaitu bersatunya alam dan rakyat Nusa dengan Bali. Persatuan ini akan membawa kedua daerah lebih mudah maju membangun kesejahteraan hidup bersama antara rakyat Bali dan Nusa Penida lahir batin.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close