Pengampunan Dosa dalam Hindu

Pertobatan dalam Hindu

Menurut Ramanujacharya , dosa timbul dari tindak pendurhakaan kepada Tuhan. Tuhan telah memberikan kebebasan berkehendak kepada umat manusia, dan sastra-sastra Veda telah memberikan tuntunan agar kita bisa hidup di jalan Dharma . Sarasamuscaya 18menyatakan Dharma dapat melebur dosa jagat tiga ini. dharma mantasakenikang triloka ‘. Sebelumnya, sloka 17 menyebutkan, prilaku matahari sedang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikian pulalah orang yang melakukan Dharma . Dharma akan memusnahkan segala macam dosa. Sebaliknya, mereka yang melanggar Dharma akan terjerat dengan siklus kelahiran dan kematian ( punarbhava) yang tidak jelas kapan berakhirnya. Semasih hukum Karma Dan Punarbhawa mengikat kitd, Maka selama ITU Kebebasan ( moksha ) Tidak akan tercapai.

Permohonan ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan dalam Sruti. Melalui pemujaan kepada Varuna. Tuhan beri peluang agar manusia bertobat. Disebutkan, “Bila melalui kehendak pikiran, kami melanggar hukum-Mu, sudilah kamu tidak menghukum kami” ( Rgveda VII.89.5). Mengingat mantram itu ada dalam Sruti, maka bisa dijadikan jaminan Tuhan Veda pun memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk melakukan pertobatan. Pertobatan, Yang hearts Hindu disebut prayascita , DAPAT dilakukan DENGAN Upacara samskara(penyucian Dari Luar) tetapi Yang LEBIH Penting adalan penyucian Dari hearts Diri, lewat tapa, brata, yoga , Dan samadhi .

Manawa Dharmasastra II. 102 memberikan petunjuk, yaitu dosa terhapus dengan melakukan sandhya mengucapkan mantra Savitri. Mantra Savitri lebih dikenal sebagai Gayatri Mantram, karena memakai chanda Gayatri. Mantram tersebut memang ada dalam Rgveda III. 62.10 , dan Yajurveda 11.35 dan XXX.2 . Itu berarti, mantra bait pertama Puja Trisandhya itu sebenarnya sangat utama karena bisa hapuskan dosa orang yang merafalkannya dengan penuh ketulusan hati, apalagi dilakukan
dengan berjapa.

Lewat upacara samskara , khususnya yang berhubungan dengan manusa samskara , kita sering menggunakan banten beakala ( bayakaon), pengelukatan, prayascita, sampai sesayut guru piduka. Semua itu mengemban makna kebebasan sumber dosa, terbangun dari dosa-papa, dan permohonan maaf kepada Tuhan. Tindakan ini akan semakin efektif jika dilengkapi dengan penyucian diri dari dalam dengan asucilaksana. Yajur Veda XIX. 30 menyatakan kesucian ( diksa ) dengan pengendali indria (brata). Brata sendiri adalah disiplin akan tapa.

Selanjutnya, Manawa Dharmasastra V. 109 , secara bertahap menuntun umat manusia melakukan penyucian diri mulai dari membersihkan tubuh dengan air, pikiran dengan kebenaran, jiwa dengan tapa brata, kemudian kecerdasan ( buddhi ) dengan pengetahuan yang benar ( jnana ). Kitab-kitab susastra, latihan perlunya dilaksanakan japa, dan pemakaian bhasma ( Wrhaspati Tattwadan Panca Siksa ). Bahkan, bhasma sendiri dianggap sebagai pelebur dosa. Lebih rinci lontar Silakrama yang bernada berdoa mesti akukan dengan mandi, nyurya sevana, melakukan pemujaan, berjapa, dan pelaksanaanhoma ( agnihotra ).

Dari uraian di atas, prayascita sebagai bentuk peleburan dosa, telah diajarkan dalam Veda dan susastranya. Karena itu, permohonan dalam Tri Sandhya bertekad sia-sia. Pada bait die mantram itu ada pengakuan penyembah yang penuh nestapa. Papo ham papakarmaham papatma papasambhavah . Lebih lanjut, pada bait balik penyembah memohon pengampunan kepada Mahadewa Sang Sang Penyelamat segala makhluk. Mohon ampun atas segala dosa yang ada, kirim lagi pada umpan keenam (terakhir). Om ksantavyah kayiiko dosah (ampunilah segala dosa karena perbuatan hamba), ksantavyo vaciko mama (ampunilah dosa karena ucapan hamba), ksantavyo manaso dosah (ampunilah dosa yang berasal dari pikiran hamba),tat pramadat ksama-svamam (ampunilah segala kelalaian hamba).

Itu adalah mantram harian umat Hindu, yang secara eksplisit pula menepis pandangan Hindu tidak mengenal pengampunan dosa! Pandangan itu keliru, karena Sri Krishna sendiri mewejangkan, apakah orang-orang yang telah ditinggalkan (menyelesaikan) semua swadharmanya , dan datang kepada kita kepada Brahman, akan dibebaskan dari segala dosa ( Bhagavad gita. XVIII. 66 ).

Brata Sivaratri

Mengingat Veda tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam, maka para Maharsi membuat menu rohani buat mereka dalam bentuk ceritera yang mudah dimengerti. Dalam kitab-kitab Purana, pengampunan atau peleburan dosa dalam bentuk brata Sivaratri . Brata yang dilakukan pada setiap purwanining Tilem, khususnya Maha Sivaratri pada Purwanining Tilem Kepitu, ditujukan kepada Dewa Siva. Berbagai kitab Purana menyebutkan keagungan dan keutamaan brata tersebut. Ada yang mengatakan bisa menyukseskan penyembahnya dari alam neraka (Garuda Purana), ada pula yang menyatakan akan mendatangkan kebahagiaan dan kebebasan (Agni Purana).

Sementara itu, Padma Purana menyebut sebagai malam peleburan atau pembebas manusia dari kepapaan. Sivaratri wijneya sarvapapa paharini ‘ atau ‘ tesam papaninasyanti sivaratri prajagarat ‘. Lebih rinci lagi, dalam Siva Purana tahan, ada di antara berbagai brata, seperti tirtayatra, dana punya, yajna, tapa dan japa , semua itu tidak ada yang melebihi keutamaan brata Sivaratri . Hal senada disampaikan dalam Sivaratri Kalpa 37, 7-8 : meski benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, membunuh orang tidak bersalah, congkah dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, semua kepiting itu lenyap dengan melakukan brata Sivaratri .

Label brata menunjukkan Sivaratri tidak cukup bisa dilakukan dalam satu musim, tapi harus setiap saat sepanjang hayat. Kata ratri yang dimaksud malam mesti dimaknai sebagai kegelapan pikiran yang disebabkan oleh avidya dalam bentuk Sapta Timira, yang disimbolkan dengan Purwanining Tilem Kapitu. Brhadarannaka Up. 1.3.28 menyebutkan, tamaso ma jyotirgamaya , tuntunlah hamba Dari Kegelapan Menuju Pikiran cahaya suci-Mu, ya Tuhan. Agar bisa lepas dari peteng pitu, maka kita harus jagra, bangkit dari tidur (turu). Dalam Vrhaspati Tattwa , tidur berarti dibelenggu oleh indria dan hasil menurut nafsu (raga). Orang-orang yang disebut manusia papa (khilap). Agar bebas dari papa, Deva Siva memberikan petunjuk, “…yan matutur ikang atma ri jatinya … “Maknanya, kesadaran akan menyanyikannya sendiri. Orang yang sadar akan jati dirinya, dia atma bukan badan (deha), akan terbantu atas dasar kedasaran atma, jadi bebas dari dosa.

Dalam Kesadaran atma, orangutan melakukan upavasa Yang PADA akhirnya menyatu DENGAN Sunya . Upavasa berarti mendekatkan diri dengan penguasa, dalam hal ini Tuhan. Dalam aktivitas fisik diwujudkan dengan tidak makan. Mengingat makanan menentukan pikiran, dan pikiran menjadi pengendali perbuatan ( karma ), maka mengendalikan pikiran secara langsung mengendalikan gerak karma kita. Monabratayang berarti tidak berbicara, mengandung makna penyucian ucapan. Mona melahirkan kesunyian, Yang merupakan simbolik Sunya , Tuhan ITU Sendiri. Dengan demikian, secara terstruktur, Siwaratri membuat Tri Kaya menjadi suci (suddhi). Jagramenyucikan buddhi dan manah, upavasa menyucikan karma, dan monamemprayascita ucapan.

Upaya prayascita Tri Kaya menurut brata Sivaratri sesuai dengan petunjuk Lontar Agastya Parva yang sedang Sivaistik. Lontar itu ada tiga cara untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan, yaitu tapa, yajna, dan kirti . Tapamengandung makna pengendalian indria. Mereka yang tidak melakukan tapa , secara spiritual adalah mayat ( sava ) berjalan. Dengan mengendalikan diri, orang-orang melakukan yajna, dan jadilah mereka penyembah yang mencintai Tuhan. Mencintai Tuhan tidak cukup dengan yajna semata, tapi mereka harus melakukan pelayanan terhadap makhluk lain, sebagai wujud fisik Tuhan. Pelayanan pelayanan yang disebut kirti , sadhana atau seva . Mereka kini menjadi orang-orang yang dicintai Tuhan, yang pada akhirnya mereka akan menyatu dengan Siva.

Orang-orang yang mendapat berkah Sivaratriakan memiliki keluarga bahagia besar keluarga besar Dewa Siva. Dalam keluarga Siva yang pluralistik semua hidup harmonis. Kata keluarga sendiri berasal dari kata kula (= pelayanan) dan warga(= jalinan). Karena itu, keluarga berarti jalinan pelayanan atas dasar cinta. Wahana Dewa Siva yang lembu Nandini, sementara di leher-Nya melilit ular kobra yang sangat berbisa. Parwati, Sakti Dewa Siva, mengendarai singa, sementara kedua putranya, masing-masing Ganesha mengendarai tikus dan Kumara berwahana burung merak. Dalam kehidupan nyata, betapa susahnya menyatukan sapi dengan singa, ular dengan tikus, dan buruk merak dengan ular. Namun dalam keluarga Siva, semua itu bisa hidup berdampingan karena mereka memiliki cinta sebagai unsur pemersatu. Semoga pikiran baik datang dari segala hal.

Pasepan Dewata dupanya Semeton Bali

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close